44. Ta'aruf

15.6K 1.9K 2.1K
                                    

Setelah mengalami perdebatan panjang di telepon, akhirnya tibalah hari ini. Hari di mana gue akan melamar Alan.

Tadinya gue dan Alan memang sudah sepakat bakal pacaran dulu dan memperbaiki semuanya dari awal. Meski nggak disepakati mau sampai kapan, gue dan Alan ingin semuanya berjalan santai aja. Karena kami juga nggak dikejar apa-apa.

Namun, baru empat bulan gue terpisah sama dia, rasanya gue udah nggak tahan lagi. Memang sih, selama empat bulan ini bukan berarti kami nggak pernah ketemu sama sekali. Alan sering tiba-tiba ke Yogyakarta dan menginap di villa seminggu. Setidaknya kami bertemu tiga minggu sekali.

Pernah gue yang pengin gantian ke Jakarta, tapi dia menolak. Katanya, dia nggak mau gue cuti cuma buat ketemu dia. Dia bilang, "Mending jatah cuti kamu dipake buat hal lain yang lebih penting, Ca. Kalau cuma ketemu aku gini mah, nggak papa aku aja yang ke Jogja. Kan sekalian liburan. Aku juga nggak kerja jadi bisa sepuasku mau di Jogja berapa hari."

Awalnya gue menganggap perkataan Alan sebagai angin lalu. Toh juga sebelumnya, dia sering melontarkan kalimat serupa.

Namun, ketika tiba pada hari di mana harus mengantar Alan ke bandara untuk kembali ke Jakarta, perasaan gue terasa sangat berat. Gue sungguh tidak bisa menahan ini semua lebih lama lagi. Gue rasa segala tekad kami untuk memperbaiki hubungan ini, sudah cukup membuat gue yakin kalau ini adalah saat yang tepat untuk memasang janur kuning di depan gang rumah gue.

Apalagi kan, soal biaya pernikahan, gue sudah menyiapkannya sejak bertahun-tahun yang lalu. Mengingat kalau Alan adalah pacar serius pertama gue, tentu gue sudah sangat sering membayangkan untuk melamarnya suatu hari nanti. Makanya gue dikenal makin kere karena lebih giat menabung.

Akhirnya gue pun mendatangi Ayah untuk minta wejangan soal pernikahan. Beberapa waktu lalu saat Ayah menyuruh gue langsung melamar Alan, kayaknya itu cuma keisengan Ayah aja karena tahu kalau gue belum siap. Giliran sekarang gue sudah siap, Ayah langsung kalang kabut nggak siap sendiri, dan berulang kali menanyakan apakah gue serius.

Namun, setelah melewati malam-malam panjang berisi diskusi pelik bersama Ayah di teras sambil makan pisang goreng. Akhinya Ayah pun setuju gue melamar Alan. Cuman Bunda aja tuh yang masih aja menganggap gue sebagai anak kecil sehingga selalu menatap gue dengan tidak yakin.

Entah kenapa Bunda tuh masih aja menganggap gue seperti bayi yang nggak bisa apa-apa. Makanya ketika merencanakan pertemuan antar keluarga ini, Bunda bersikeras agar pertemuan ini cuma sebatas mengakrabkan diri satu sama lain aja. Nggak boleh langsung lamaran.

Ya udah gue iyain aja. Gue bilang ke keluarga Alan kalau ini cuma pertemuan kasual antar keluarga. Namun, diam-diam gue tetap menyiapkan diri buat melamar Alan. Hitung-hitung sekalian kasih Alan kejutan.

Om Roland menyambut niat baik Ayah, dan langsung berinisiatif untuk datang ke Yogyakarta sekeluarga. Sudah gue bilang puluhan kali kalau keluarga gue yang bakal ke Jakarta. Namun, sama seperti anaknya, Om Roland menolak.

"Biar saya dan sekluarga bisa sekalian liburan di Jogja."

Melihat Om Roland dan anaknya yang keras kepala banget mau ke Jogja, ya sudah mau nggak mau gue dan Ayah pasrah menurutinya. Karena satu dan lain hal, gue dan Alan sepakat buat mengadakan pertemuan antar keluarga ini di villa tempat gue kerja. Sekalian mau pamer ke karyawan di sini, kalau gue bukan jomlo ngenes lagi.

"Bagus banget cincinnya!" pekik Alit.

Gue tersenyum jumawa sambil memamerkan cincin lamaran yang sudah gue pesan sejak lama. Cincin ini gue beli atas rekomendasi dari Mas Bimo yang sudah berpengalaman menikah. Menurutnya, custom cincin, bakal lebih berkesan dibanding kalau beli cincin yang sudah ada di toko emas.

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang