11. Amatir

13.3K 2K 14
                                    

Sebelum bertemu Mamanya Alan, gue sudah menebak kalau hubungan gue dan Alan nggak akan direstui semudah itu. Gue bahkan sudah menyiapkan hati seluas mungkin untuk menerima segala bentuk perkataan kasar Mamanya Alan yang merendahkan gue. Namun tetap saja, ingin selapang apa pun gue menyiapkan hati, semuanya tetap terasa menyakitkan.

Tadinya gue pikir selama ini kan, mental dan ego gue sudah sering diuji. Terutama oleh teman-teman gue yang selama ini suka menjadikan gue sebagai objek bully dengan berbagai macam candaannya, juga Bunda dan Alit yang hobi menguji kesabaran gue. Namun direndahkan oleh calon mertua itu menimbulkan sakit hati yang berbeda dibanding yang selama ini gue rasakan.

Butuh waktu berhari-hari untuk gue menenangkan diri dan memberikan semangat pada diri gue sendiri supaya nggak menyerah begitu saja. Masa baru gini aja sudah langsung menyerah? Mungkin kalau saat ini kondisinya gue sudah lulus kuliah tapi nggak punya pekerjaan oke dan direndahkan oleh Mamanya Alan, gue bakal langsung menyerah. Tapi kan, sekarang gue sedang memulai semuanya. Gue masih punya waktu cukup banyak untuk membuktikan kalau gue nggak bisa diremehkan seenaknya.

Setelah melewati hari-hari penuh galau dan patah semangat, akhirnya hari ini gue bisa bertemu dengan Alan lagi. Tentu saja dengan suasana hati yang lebih stabil, dan nggak minder lagi seperti kemarin-kemarin. Rasa kangen gue pada Alan berhasil membunuh segala ketakutan gue soal masa depan. Persetan dengan itu semua, yang penting selama Alan masih mau sama gue, gue bakal terus nekat untuk selalu ada di sampingnya.

Alan minta dijemput di Apartemen, tapi nggak bilang ingin mengajak ke mana. Omong-omong gue sudah akrab dengan satpam apartemen Alan, sehingga setiap kali gue ke sini, satpamnya langsung menghubungi unit Alan, begitu Alan mempersilakan gue naik ke unitnya, satpam tersebut langsung mengantar gue supaya bisa mengakses lift khusus penghuni apartemen.

"Loh, kamu belum siap-siap?" Begitu Alan membukakan pintu, gue langsung meneliti penampilannya dari atas sampai bawah. Gue cuma bisa geleng-geleng melihat Alan yang masih memakai kaos oblong dan celana pendek.

Tanpa mengatakan apa pun, Alan langsung memeluk gue erat, dan menutup pintu di belakang gue. Tentu saja gue balas memeluknya sama eratnya. Baru semenit berpisah sama Alan aja gue udah kangen banget. Apalagi ini seminggu nggak ketemu.

"Aku habis masak." Serunya sambil tersenyum lebar. Tangannya masih melingkari tubuh gue, tapi dia menjauhkan kepalanya dari dada gue.

"Hah? Masak apaan?"

Alan enggan menjawab pertanyaan gue dengan kata-kata. Dia lantas menarik tangan gue untuk duduk di pantry di mana sudah banyak makanan tertata rapi di sana.

"Kamu bohong ya? Jelas-jelas ini kamu beli di GoFood, terus dipindah ke piring." Ledekku sambil mencomot udang goreng tepung.

"Gimana enak nggak?" tanya Alan antusias sambil duduk di sebelah gue.

Gue manggut-manggut. "Sekarang aku baru percaya kalau ini kamu yang masak."

Seketika raut wajah Alan berubah lesu. "Nggak enak ya, udangnya?"

"Enak kok." Kemudian gue menatap bak pencucian piring yang masih berantakan oleh berbagai peralatan masak kotor. "Tapi liat itu aku jadi percaya."

Alan langsung terkekeh. "Kamu datengnya kecepetan sih! Jadi aku nggak sempet beresin itu dulu."

Setelahnya Alan langsung mengambilkan piring dan mengisinya dengan nasi, udang goreng tepung dan sayur asem hasil buatannya. "Selamat menikmati, Tuan Patrick Star."

"Kamu tanya ke Bunda ya, makanan kesukaanku apa?" Gue menatapnya penuh selidik sambil menerima piring yang dia sodorkan.

"Harusnya kalau kamu udah bisa nebak, nggak usah tanya. Pura-pura nggak tau gitu kek! Anggap aja aku lagi ngeramal kamu, jadi bisa langsung tau makanan kesukaanmu apa."

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang