Bintang nggak pernah menyangka akan tergila-gila dengan perempuan berusia 4 tahun lebih tua darinya. Dan semakin nggak menyangka ketika perempuan itu langsung mau diajak jadian pada bulan pertama perkenalan mereka.
Baginya, Alanda merupakan wujud ny...
Btw thanks ya! Kalian bener-bener made my day deh!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selagi menunggu Alan mandi, gue menambahkan air yang gue rebus jadi lebih banyak, untuk memasak mie dua porsi. Kalau Bunda tau gue sejak tadi memasak air nggak selesai-selesai, pasti gue bakal diomelin habis-habisan. Bahkan gue sudah bisa mendengar omelan Bunda sampai sini, "Mubadzir gasnya, UCAAA!" Khas Bunda banget yang suka menyebut nama gue dengan suara melengking, kalau sedang emosi banget.
Tepat di saat Alan selesai mandi, mie buatan gue jadi. Gue sudah berpesan agar dia nggak mandi kelamaan, meski mandinya pakai air hangat. Rumah mess ini memang tersedia waterheater di setiap kamar mandinya, mengingat udara di daerah ini memang selalu dingin.
Alan keluar dari kamar mandi dengan rambut yang dibungkus handuk, memakai celana training hitam kebesaran milik gue, juga hoodie berwarna senada yang juga kebesaran.
"Tuh, keringin rambut dulu!" Gue mengendikkan dagu menunjuk hair dryer dan dua buah selimut yang gue letakkan di sofa.
Hair dryer itu nyaris nggak pernah gue pakai dan masih sangat baru. Bahkan gue baru mengeluarkannya dari kardus saat Alan mandi tadi. Gue mendapatkannya sebagai hadiah saat mengikuti lomba 17-an di Tombak yang diselenggarakan oleh Pak Bos. Tadinya mau gue kasih ke Alit, tapi karena gue jarang pulang ke rumah, gue belum sempat membawanya pulang.
Alan nggak mengatakan apa-apa dan langsung menuruti instruksi gue. Dia menancapkan colokan hair dryer di dekat televisi, sementara gue sudah mulai makan di meja makan. Gue beneran sudah kelaparan banget. Meski gue membuatkan Alan mie juga, gue nggak mau makan berdua dengannya. Makanya gue berusaha menyelesaikan makan gue secepat mungkin.
Saat mie di mangkuk gue tinggal setengah, Alan bergabung di meja makan sambil membawa sebuah selimut yang disampirkan di bahunya. Dalam hati gue mencibir. Bisa-bisanya dia mengambil risiko sebesar ini hanya demi mendapatkan belas kasihan dari gue. Gimana kalau gue nggak melihat keberadaannya sampai besok pagi? Bisa dipastikan dia mati di teras rumah gue, dan semua orang bakal heboh.
Suasana hening. Alan melahap mie-nya sama cepatnya dengan gue. Ketika gue sudah selesai makan duluan, gue segera meletakkan mangkuk kosong di bak cuci piring. Kemudian gue mengambil gelas untuk membuatkan Alan teh. Masih dengan bibir terkatup, gue meninggalkannya dan masuk ke kamar.
Susah payah gue berusaha menutup pintu kamar agar tidak membanting pintu. Namun akibat emosi gue yang sudah mendidih, suaranya tetap terdengar agak keras. Gue langsung melemparkan tubuh ke kasur.
Sofa di ruang tamu gue nggak terlalu besar. Paling kapasitasnya cuma buat dua orang. Kalau Alan tidur di sana semalaman, badannya pasti pegel-pegel. Apalagi dia punya alergi dingin. Ventilasi di ruang tamu lumayan besar, sehingga udara dingin dari luar mudah masuk.