"Re! Sori banget, anjir, gue enggak tau kalau bakal ada absen mendadak! Padahal biasanya kan, enggak pernah absen mendadak, ya? Makanya gue santai aja langsung tanda tanganin elo. Nggak taunya malah diabsen!" Baru saja gue sampai di parkiran kampus, Ben langsung menghampiri gue dengan muka panik.
Melihat wajahnya yang kelihatan penuh penyesalan, gue yakin kalau ini hal serius. Gue tahu persis, Ben bukan tipe orang yang suka mengerjai gue dengan berbagai drama. Masalahnya dia sama sekali enggak jago akting.
"Kenapa, sih? Lo kalau ngomong yang jelas dong, kampret!" sungut gue.
Hari ini gue bangun telat. Seharusnya ada dua mata kuliah. Pertama kuliah pagi, pukul tujuh. Dan satu lagi jam satu siang. Bodohnya, semalam gue malah main monopoli sama Alit sampai jam dua pagi. Habisnya bocah itu ngeselin banget, enggak mau selesaiin permainan meski udah bangkrut.
Paginya gue sudah setting alarm bertubi-tubi supaya gue bisa bangun minimal satu jam sebelum masuk. Nyatanya kuping gue berhenti berfungsi saat tidur, sehingga gue baru muncul di kampus sekarang. Pukul setengah sebelas siang. Itu pun setelah Ben menelepon gue berkali-kali dan mengatakan hal yang sama seperti yang dia ucapkan barusan.
Ketika gue bertanya kenapa, dia cuma bilang, "Mending lo buruan ke sini deh!"
Sekarang gue sudah di kampus, tapi dia masih saja mengulangi kalimat yang sama. Untung gue masih rada ngantuk, jadi enggak punya tenaga buat mukulin dia. Agak sorean nanti, kalau dia masih nyebelin, gue bersumpah akan pukulin kepalanya supaya otaknya bener dikit.
"Minggu kemarin kan, gue nggak masuk, terus lo absenin gue dengan sukarela tanpa pamrih. Makanya pas setengah delapan tadi lo belum nongol di kelas, gue langsung nebak kalau lo bakal bolos. Dan ternyata bener, kan? Pasti lo baru bangun jam segini!" ucap Ben panjang lebar.
"Iya, terus masalahnya apa brengsek?"
"Gue absenin elo, terus tiba-tiba Bu Sinta ngehitung orang yang dateng sambil dicocokin sama absen. Intinya ... lo ketahuan kalau titip absen. Gue lupa kalau Bu Sinta hafal muka lo. Tau-tau dia tanya ke orang yang duduk di depan, 'Lho, si Rey mana?' Habis itu-"
Gue enggak butuh denger cerita Ben selanjutnya. Rasanya gue ingin mendamprat cowok ini dengan serentetan kalimat kasar. Namun, menyadari kalau seharusnya gue menghadap Bu Sinta, gue mengurungkannya.
"Gue nggak pernah minta lo absenin gue di matkul Bu Sinta, karena beliau hafal wajah gue! Minggu kemarin lo berhasil gue absenin, karena wajah lo jelek, jadi Bu Sinta nggak ngeh! Lo tau kan, kalau Bu Sinta cuma ngehafalin muka mahasiswanya yang ganteng aja? Goblok lo emang!"
Ben tampak enggak tersinggung setelah gue katain jelek dengan suara kencang di tempat parkir. Bahkan beberapa orang yang lewat ikut menoleh pada kami, lalu mengamati wajah gue dan Ben bergantian, seolah ingin membuktikan apakah omongan gue itu benar. Kemudian mereka mengangguk pelan, sembari berbisik-bisik. Membuat gue semakin yakin kalau mereka juga mengakui, bahwa gue sangat ganteng, sedangkan Ben jelek.
"Ya sori, Re! Gue kan niatnya mau balas budi ..."
"Balas budi gigi lo bau bawang! Bu Sinta enggak mungkin nyuruh gue ke ruangannya sendirian, kan? Pasti beliau juga minta orang yang absenin gue ketemu beliau juga! Iya kan?" tanya gue yang membuat muka Ben semakin panik.
"Plis, Re, Bu Sinta itu dosen PA gue. Lo bisa bayangin nggak, gimana hancurnya reputasi gue kalau ketahuan gue yang absenin elo? Selama ini Bu Sinta menganggap gue sebagai anak alim, yang cerdas dan sangat rajin. Setiap bimbingan, gue nggak pernah terlambat, dan sempat dapet nilai A pas kuis. Tolonglah, Re, kalau baru semester 1 aja reputasi gue udah rusak, gimana hidup gue di semester-semester berikutnya?" Sekarang wajah Ben benar-benar tampak memelas, membuat gue semakin ingin menonjoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Back to The Start (COMPLETED)
Storie d'amoreBintang nggak pernah menyangka akan tergila-gila dengan perempuan berusia 4 tahun lebih tua darinya. Dan semakin nggak menyangka ketika perempuan itu langsung mau diajak jadian pada bulan pertama perkenalan mereka. Baginya, Alanda merupakan wujud ny...