39. Licik

11.5K 1.8K 1.1K
                                    

"Alan udah balik."

Gue mengabaikan ucapan Brian, dan mengambil kaleng soda yang ada di meja. Brian duduk di sofa sebelah gue. Ia menghela napas kasar.

Tadi Brian memang mengajak gue membantu Alan membawakan kopernya menuju taksi. Cuman gue menolak. Gue nggak bisa berhadapan dengan Alan lagi. Semuanya sudah cukup.

"Bener-bener nggak bisa balikan ya, Re?" Fano menatap gue penuh harap.

"Setelah gue pikir ulang, gue ngerti sih, kenapa Alan nggak langsung bilang ke elo," tambah Ben. "Dulu pas awal-awal deket sama Daryn juga gue nggak bilang kalau orang tua gue udah meninggal. Emang sih, Daryn nggak terlalu sering cerita soal orang tuanya. Cuman gue kalau dia lagi bahas gimana ibu dan bapaknya, gue suka aja nyimaknya. Bikin gue jadi mengenang masa-masa di mana orang tua gue masih ada."

Ben meneguk sodanya sejenak. Lalu melanjutkan, "Setelah hubungan gue sama dia makin deket, gue ngerasa kalau dia perlu tahu soal gue kan lebih banyak kan? Jadi gue ceritain deh. Ternyata ketakutan gue terbukti. Daryn jadi jarang cerita soal ibu bapaknya. Dia nggak enak sama gue, karena takut gue ngerasa sedih dan keinget orang tua gue yang udah nggak ada. Padahal setiap kali bahas soal orang tuanya, gue seneng banget! Secara nggak langsung kan gue sudah menganggap orang tua Daryn kayak orang tua gue juga. Jadi gue selalu pengin tau gimana kabar orang tuanya."

"Udah berkali-kali gue bilang ke Daryn, kalau gue nggak masalah dia cerita banyak soal orang tuanya. Tapi tetep aja rasanya beda dibanding waktu dia belum tau kalau orang tua gue udah nggak ada," imbuh Ben. "Apalagi lo kan sering banget cerita soal bunda dan Alit ke kita-kita, gue yakin lo juga suka cerita itu ke Alan kan? Pasti Alan juga sangat menikmati cerita itu, sama kayak gue."

Gue cuma diam. Ucapan Ben memang ada benarnya. Bahkan waktu awal-awal mengenal Ben, terus tau kalau orang tuanya sudah meninggal, gue berusaha menghindari topik keluarga. Namun, lama kelamaan dia malah menanyakan soal keluarga gue terus, jadi mau nggak mau gue menceritakannya. Saat melihat raut antusias Ben tiap kali gue cerita, akhirnya gue mulai kembali bersikap santai.

"Kalau gue jadi Alan ... gue juga malu banget sih, kalo cerita soal perselingkuhan orang tua. Itu kan aib keluarga juga, Re. Nggak semudah itu cerita meski sama orang terdekat. Bukan masalah dia nggak percaya sama lo. Ya kecuali kalo kalian udah mau nikah, baru deh mulai jujur-jujuran gitu." Fano menambahi lagi.

"Jadi kesimpulannya, kalau kalian ada di posisi gue, kalian bakal maafin Alan, terus nerima dia lagi?" tanya gue.

Fano langsung mengangguk tanpa berpikir. "Ya, mungkin gue butuh sedikit waktu buat bener-bener balikan sama dia. Tapi gue bakal maafin dia. 'Kan dia nggak bener-bener selingkuh, Re,"

"Kayaknya kalau gue ada di posisi Alan, gue juga bakal mati-matian mempertahankan keluarga gue, nggak peduli gimana pun caranya." Brian berpendapat.

"Gue tau sih, pasti lo masih kesel kenapa harus nunggu lima tahun dulu buat dapetin penjelasan itu. Cuman gue ngerti banget posisinya Alan, meski nggak bisa gue benarkan. Dia kan udah bilang kalau belakangan ini dia strunggle sama masalah keluarganya, terus sibuk kerja juga. Dan buat cerita masalah itu ke orang lain itu nggak gampang. Butuh waktu cukup lama buat berdamai sama hal itu," tutur Ben.

"Kenapa lo jadi sok bijak najis gini sih?" sungut gue.

"Dia kan juga pernah ada di posisi Alan, Re!" ledek Fano. "Ya nggak sama persis kayak Alan sih. Cuman dia kan sempet nge-ghosting Daryn sampai empat tahun nggak sih? Orang-orang pasti udah ngata-ngatain dia kenapa harus bikin Daryn nunggu selama itu."

"Tiga tahun ya, bangsat! Nggak usah lo tambah-tambahin!" sungut Ben.

"Tuh, Re, Ben aja yang masalahnya sepele gitu butuh waktu tiga tahun. Apalagi Alan yang masalahnya jauh lebih pelik?" sambung Brian.

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang