18. Tidak Sepadan

11.3K 1.8K 117
                                    


"Udah?" tanya gue sembari memindai penampilan Alan dari atas sampai bawah.

Alan mengangguk mantap, kemudian mempersilakan gue untuk keluar dari apartemennya lebih dulu. "Yuk!"

"Jam segini kok masih panas banget ya?" gumam gue sambil melirik ponsel untuk memastikan sekali lagi ini pukul berapa. Gue pikir sebelum menjemput Alan tadi, gue salah lihat jam karena sekarang sinar matahari masih sangat terik. Padahal sudah pukul empat.

"Kalau jam segini masih panas, berarti nggak bakal hujan kan sampai malem? Pasti nanti langitnya bagus banget!" serunya sambil mengunci pintu apartemennya.

Alan tampak sangat antusias saat gue berinisiatif mengajaknya ke Bukit Bintang. Biasanya kan kalau pacaran kami cuma jalan-jalan di sekitar sini aja, atau malah lebih sering menghabiskan waktu di apartemen. Mumpung minggu ini ada waktu, gue kepikiran mengajaknya ke Bukit Bintang. Rasanya Bukit Bintang itu menjadi tempat yang wajib dikunjungi bagi semua orang yang pacaran di Jogja.

"Santai, cuacanya udah aku setting biar nggak hujan kok! Jadi pasti nanti langitnya bagus." Balas gue santai, sembari menggandengnya menuju lift.

"Kamu jadi mau daftar asisten laboratorium?" tanya Alan setelah kami sama-sama di dalam lift.

Kegalauan yang mengganggu gue seminggu belakangan kembali muncul. Sudah gue bilang kan, kalau sejak wisuda Alan setahun yang lalu, gue jadi lebih semangat buat belajar. Untungnya sohib gue—Ben, juga sungguh-sungguh saat belajar sehingga gue ada temen untuk jadi ambisius di kelas. Gara-gara Ben daftar jadi asisten laboratorium untuk mahasiswa semester 2, gue jadi tertantang untuk ikut daftar juga.

Sekarang ini gue sedang liburan semester. Dua minggu lagi gue akan memasuki semester 4. Gila, nggak kerasa ya, waktu berjalan cepat banget. Dan itu artinya, dua bulan lagi gue dan Alan bakal aniversarry kedua tahun. Belakangan ini gue dan Alan mulai bisa membagi waktu dengan baik dan bisa beradaptasi dengan kesibukan masing-masing, sehingga tidak ada sesuatu yang dipermasalahkan lagi.

Gue sadar kalau sikap gue yang selalu kesal setiap Alan sibuk itu childish banget, sehingga perlahan-lahan gue berusaha membiasakan diri untuk menerima itu semua. Begitu juga dengan Alan yang kini selalu berusaha mengosongkan waktu di akhir pekan, sehingga kami bisa bertemu minimal seminggu sekali. Sekarang dia nggak sungkan lagi kalau gue menjemputnya di hotel. Gue merasa hubungan gue dan Alan sudah naik satu step karena berhasil melewati fase penuh ego tersebut, dan kini bisa lebih saling mengerti.

Dan yang menyebabkan gue galau selama seminggu belakangan adalah kalau gue ikut mendaftar menjadi asisten laboratorium, jadwal gue akan semakin padat. Di hari Sabtu gue harus tetap berangkat ke lab untuk evaluasi mingguan dan menyiapkan bahan praktikum selama seminggu ke depan. Itu artinya, hari gue bertemu Alan jadi berkurang. Setiap harinya juga pasti gue harus bertahan di lab sampai sore untuk mengajar, sehingga tidak bisa sering-sering menjemput Alan pulang kerja. Padahal dengan jadwal gue yang agak longgar begini saja, pertemuan gue dengan Alan sudah sulit banget diusahakan. Apalagi kalau gue menambah kesibukan gue?

"Nggak papa, Ca, kamu daftar aja! Aku nggak tau sih, jadi asisten lab itu bakal sesibuk apa. Nanti kan kita bisa atur lagi bakal ketemu kapan? Aku bisa naik gojek ke rumahmu dan kita makan malam di rumahmu kayak kemarin. Atau... gampang deh, nanti! Aku nggak mau lho, kalo kamu nggak jadi mengembangkan diri buat ikut hal-hal semacam ini cuma gara-gara aku!" ujar Alan dengan tatapan penuh meyakinkan.

Gue masih termenung, berusaha memikirkan ulang. Kemudian Alan menambahi. "Eh, kalau jadi asisten lab gitu, nanti bisa dimasukin ke CV kan? Lumayan tuh, Ca! Biar nanti gampang cari kerja!"

"Ya nanti aku pikirin lagi!" balas gue singkat, sambil merangkul bahunya, lantas mengecup pelipisnya singkat.

Memang ada banyak sekali kelebihan yang bisa gue dapatkan kalau menjadi asisten lab. Belum lagi bayarannya yang lumayan banget buat ditabung atau mentraktir Alan makanan mahal. Namun gue juga nggak bisa mengendalikan rasa kangen gue pada Alan yang suka membuat gue uring-uringan kalau nggak bertemu dia seminggu aja. Makanya ini menjadi keputusan paling sulit yang harus gue pilih.

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang