29. Bukan Teman Saya

10.4K 1.8K 347
                                    

"Mau lari?" Ben memindai penampilan gue dari atas sampai bawah dari balik cangkir kopinya.

Alih-alih menyahuti pertanyaannya, gue mendengus. Baru ingat kalau ini hari Sabtu. Belakangan kerjaan Ben tiap weekend memang nongol di sini. Soalnya kan Daryn jarang libur di akhir pekan, jadi Ben suka menunggu Daryn sampai selesai kerja, baru kemudian mereka pacaran entah ke mana.

Tadinya kedatangan Ben setiap akhir pekan ini bikin gue senang, karena jadi punya teman ngobrol. Namun lama kelamaan, eneg juga kalau lihat mukanya terus-terusan. Apalagi terakhir kali gue ketemu Ben, dia malah bikin gue babak belur. Jelas gue masih dendam. Walaupun sekarang gue udah segar bugar, bukan berarti gue bisa melupakan rasa sakitnya secepat itu.

Gue berjalan ke balik meja bar hendak mengambil sebuah cangkir. Namun Daryn lebih dulu mencegahnya. "Aku aja, Mas, yang bikinin. Kopi hitam kan?"

Melihat Daryn yang sudah lebih gesit menyiapkan kopi, gue pun memilih duduk di sebelah Ben. Heran, kenapa dia masih aja konsisten datang ke sini tiap weekend. Padahal kerjaan dia kalau di sini juga cuman ngeliatin Daryn kerja. Meski semua orang tahu kalau mereka pacaran, keduanya nggak pernah menunjukkan kemesraan di depan umum. Lebih tepatnya Daryn yang nggak mau. Jadi kalau dilihat dari kacamata orang awam, Ben ini cuma seperti pelanggan tetapnya Daryn pas weekend.

"Lo belum minta maaf sama gue!" peringat gue tajam.

"Gue nggak nyesel atau ngerasa bersalah tuh! Jadi ngapain minta maaf?" balas Ben enteng. Kini dia malah mencondongkan tubuh, lalu meneliti wajah gue lebih seksama. "Cepet juga ya luka-lukanya udah mulai pudar,"

Ya iyalah, orang diobatin pake salep mahal.

Setelah gue check out dari villa dan kembali ke rumah mess, tiba-tiba saja di depan pintu rumah gue ada paper bag tanpa nama. Isinya beberapa salep dan obat-obatan. Tanpa perlu berpikir, gue sudah bisa menebak siapa pengirimnya. Apalagi setelah gue cek google, obat-obatan ini harganya mahal banget. Biasa direkomendasikan oleh dokter spesialis. Gue nggak tau apa bisa pakai obat itu, karena nggak punya resep dokter. Keesokan harinya saat gue melihat Alan sedang minum susu jahe di living room pagi-pagi, gue menghampirinya.

"Itu obat-obatnya ... emang boleh kalau dipake tanpa resep dokter?"

Sumpah, gue mau pakai obat itu karena nggak mau obatnya jadi mubadzir. Bukan berarti gue langsung menerima Alan lagi. Lagian minggu depan gue harus pulang ke rumah. Makanya gue harap salep mahal itu bisa segera menyembuhkan seluruh luka di wajah gue. Sehingga gue nggak perlu repot-repot menceritakan insiden tidak penting itu pada Bunda.

Kemudian Alan menunjukkan roomchat dengan dokter spesialis. Katanya itu dokter spesialis keluarganya. Saat gue masih tidur, Alan memotret wajah gue dari dekat, lalu mengirimkan foto-foto luka gue pada dokternya.

Sejujurnya saat Alan memperlihatkan roomchat dari ponselnya, sekujur tubuh gue langsung panas dingin. Kayaknya gue mulai trauma sama ponsel Alan. Padahal ponsel Alan yang sekarang itu keluaran terbaru, sangat berbeda dengan ponselnya lima tahun lalu. Tetap saja, pikiran gue sudah menjalar ke mana-mana.

Sebelum tubuh gue memberikan reaksi berlebihan akibat rasa trauma nggak jelas ini, gue pun mengangguk. Padahal belum membaca bagaimana percakapan Alan dengan dokternya. Yang penting Alan bilang kalau resep obat-obatannya dari dokter. Lagian cara pakainya juga sudah dijelaskan dengan detail di bungkus masing-masing obat, sehingga gue nggak perlu menanyakan apa pun lagi.

Sialnya, sekarang saat luka-luka gue mulai sembuh, gue baru ingat kalau belum mengucapkan terima kasih pada Alan.

"Maaf ya, Mas?" Daryn meletakkan secangkir kopi hitam di hadapan gue, sambil menggigit bibir bawahnya.

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang