Yeri menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, tangannya meremas seragam sekolah yang ia kenakan tepat di bagian dadanya. Nafasnya terasa berat, ia memejamkan matanya mencoba bernafas dengan benar. Namun hal itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Yeri membuka matanya, ia menatap tas punggungnya yang berada di atas tempat tidur. Perlahan gadis itu bangkit dan meraih tasnya. Keringat dingin terlihat mengalir di wajah cantiknya. Yeri membuka tasnya dengan kasar, mencari benda yang selama ini sangat ia butuhkan. Nafasnya semakin terasa sesak, namun benda itu tak kunjung ia temukan. Ia yakin selalu menyimpannya di dalam tas.
Di luar kamar Yeri, Irene sudah siap untuk pergi ke kampus. Saat akan berjalan menuruni anak tangga, Irene tak sengaja mendengar benda jatuh dari kamar adik bungsunya. Kamar Yeri berada tepat di hadapan anak tangga. Irene mengurungkan niatnya untuk turun, ia mengambil langkah menuju kamar adik bungsunya.
"Yerim, ayo turun sarapan." panggil Irene seraya mengetuk pintu kamar adiknya.
Pintu kamar Jennie terbuka, gadis itu juga sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ia menghampiri sang kakak yang terlihat sedang memanggil Yeri.
"Apa dia belum bersiap?" tanya Jennie.
"Ku rasa sudah, kamarnya terdengar berisik dari luar."
Tanpa menunggu lama, Jennie membuka perlahan pintu kamar Yeri. Kedua gadis itu membulatkan matanya melihat Yeri terduduk di lantai seraya menunduk. Terlihat jelas jika adiknya sedang merasa kesakitan.
"Yerim!"
Irene langsung berlari menghampiri Yeri di ikuti Jennie.
"Dimana... dimana kau menyimpan inhalernya?" Irene mencoba memeriksa saku almamater adiknya. Yeri tak menjawab, ia sedang berusaha mengatur nafasnya agar tak semakin sesak.
Jennie tak tinggal diam, ia membuka laci nakas Yeri. Segera meraih benda itu dan langsung mengarahkannya pada Yeri.
"Ini... hirup ini." ucap Jennie dengan nada paniknya.
Irene mengambil alih inhaler dari tangan Jennie. Perlahan ia memberi arahan pada adiknya.
"Yerim, atur nafasmu perlahan."
Yeri mencoba mengikuti semua ucapan kakaknya, hingga tiga kali semprotan nafas Yeri mulai terasa lebih baik.
Jennie menghela nafas lega. Gadis itu selalu panik saat penyakit adiknya kambuh. Sejak kecil adiknya memiliki asma.
Irene meraih beberapa helai tisu di meja nakas Yeri. Ia mengusap keringat di wajah sang adik. Yeri terlihat memejamkan matanya. Menikmati usapan lembut dari kedua kakaknya.
"Tidak usah sekolah ya." ucap Irene lembut. Ia menatap sendu wajah sang adik yang sedikit pucat. Yeri pasti tersiksa dengan asmanya.
"Aku baik-baik saja kak. Tadi aku lupa menaruh inhalerku." ucap Yeri menjawab kekhawatiran kedua kakaknya.
Yeri termasuk gadis yang ceroboh, bahkan untuk kesehatannya sendiri. Itulah mengapa Jennie menaruh satu inhaler di laci Yeri. Untuk antisipasi jika Yeri lupa menaruh inhalernya.
Taeyeon mengusap lembut wajah putri bungsunya. Mendengar asma Yeri yang kembali kambuh tentu membuatnya khawatir. Yeri terlahir dengan fisik yang lemah. Itu sebabnya mereka begitu menyayangi dan menjaga Yeri dengan baik.
"Apa masih sesak?" tanya Taeyeon dan di jawab gelengan oleh Yeri.
Yeri memutuskan untuk tidak sekolah. Setelah sedikit berdebat dengan sang Ibu yang menyuruhnya untuk tetap di rumah. Yeri tau Ibunya khawatir padanya.
"Apa kegiatan sekolah mu padat?"
Yeri kembali menggeleng.
"Aku tidak banyak melakukan apapun di sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE
FanfictionKebencian melupakan segalanya. Menenggelamkan sebuah fakta terjalinnya ikatan darah. Hidup dengan segala kelebihan juga kemewahan, tanpa cela sedikitpun. Namun sebuah kenyataan harus di telan. Tak ada yang sempurna, setiap kelebihan selalu ada kekur...