0.34

1.6K 235 44
                                    

Yewon turun lebih dulu dari mobil di ikuti ketiga saudarinya. Sejenak menatap sekeliling, tempat yang ia pijaki terlihat tak terurus. Di hadapannya sebuah rumah sederhana yang banyak menyimpan kenangan bersama Ibu kandungnya. Yewon melangkah perlahan menuju pintu utama. Sisa-sisa usaha toko bunga milik ibunya masih terlihat disana. Ini kali pertama Yewon berkunjung setelah ia memutuskan untuk ikut Ayahnya.

Ada rasa penyesalan karna tak sempat mengunjungi rumah lamanya. Pemandangan yang cukup membuatnya sedih karna rumah lamanya benar-benar tak terawat. Yewon membuka pintu rumahnya perlahan. Aroma debu langsung menyambut indera penciumannya.

"Yewon sebaiknya jangan masuk, banyak debu di dalam." ucap Irene yang sudah berdiri di sebelah Yewon. Gadis itu juga merasakan aroma debu yang menyeruak.

"Kalian tunggu di luar saja. Aku harus mengambil beberapa barang di dalam." ucap Yewon.

Sebenarnya tadi ia berniat pergi sendiri. Namun ketiga saudarinya memaksa ikut.

Melihat Yewon masuk membuat Irene akhirnya ikut menemani. Tapi sebelumnya ia meminta Jennie dan Yeri menunggu di luar. Debu tidak baik untuk kesehatan Yeri.

Yeri hanya menurut pada ucapan kakak sulungnya. Ia membaca sebuah papan bertuliskan 'Toko Bunga'. Yeri baru tau jika dulu Yewon dan ibunya memiliki usaha toko bunga. Sebenarnya Yeri ingin masuk. Tapi tidak di perbolehkan oleh kakak-kakaknya.

Irene menatap sekeliling rumah sederhana itu. Menurutnya terlalu sederhana untuk di sebut rumah. Tempat itu sangat jauh jika di bandingkan dengan kediaman keluarga Kim. Tapi kenyataannya rumah itu adalah tempat tinggal Yewon dengan ibunya selama bertahun-tahun. Bisa ia bayangkan bagaimana kehidupan Yewon dulu. Sangat jauh dari kata mewah, bahkan layak.

Irene menyusul Yewon yang terlihat duduk di sisi tempat tidur sebuah kamar, mungkin itu kamar Yewon dulu. Dapat ia lihat Yewon yang memegang sebuah bingkai foto dan tidak berhenti memandanginya. Raut kesedihan jelas terpancar di wajah adiknya.

Irene mendekat, ia ikut duduk di sebelah Yewon, memandang bingkai foto yang memperlihatkan gambar Yewon dengan seorang wanita.

"Dia Ibumu?" tanya Irene.

Yewon tampak mengangguk. Sekuat tenaga ia manahan air matanya agar tidak jatuh. Masih sangat jelas di ingatan Yewon semua kenangan dengan sang Ibu. Jessica adalah segalanya untuk Yewon. Mengingat bagaimana Jessica meninggalkan begitu cepat membuatnya kembali sulit menerimanya. Ia merindukan Ibunya.

"Dia sangat cantik, sama sepertimu." ucap Irene. Ia tau jika adiknya kembali teringat akan Ibunya. Irene juga bisa merasakan bagaimana perasaan Yewon saat mengingat Ibunya.

"Kau merindukannya?"

Kembali sebuah anggukan yang Irene terima sebagai jawaban, namun kali ini disertai isakan kecil. Yewon menangis.

"Mama..." lirih Yewon.

Perlahan Irene meraih tubuh Yewon lalu mendekapnya, mengusap lembut punggung adiknya yang bergetar. Kehilangan bukan hal yang mudah. Terlebih sudah sejak kecil Yewon hanya mengenal Ibunya sebagai orang tua tunggal. Membayangkan saja Irene tidak mampu, hidup Yewon sudah sulit sejak dulu.

"Menangislah jika itu membuatmu lega." ucap Irene. Ia masih setia mengusap punggung adiknya. Banyak hal yang belum ia ketahui tentang Yewon. Seandainya sang kakek tak memaksa untuk membawa Yewon ke rumah Kim, mungkin Yewon akan hidup sebatang kara di sini.

Irene melepas dekapannya, ia menangkup kedua pipi Yewon. Wajah sang adik sudah basah oleh air mata.

"Nanti aku akan menyuruh orang membersihkan rumah ini setiap hari." ucap Irene seraya mengusap air mata di kedua pipi Yewon.

HATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang