Dunia pertama 15

12.9K 1.7K 17
                                    


Karena Arin terlalu lama, Sasha ingin menyusulnya, tetapi melihat Arin yang berada di pintu membuatnya tidak jadi menyusul dan malah melambaikan tangannya.

Arin Yang sudah tau tempat mereka dari awal karena di beritahu oleh sistem, berpura-pura mencari, lalu pura-pura tidak sengaja melihat lambaian tangan Sasha. Dia tersenyum dan mendatangi mereka.

"Akhirnya kamu datang juga" Sasha berbicara setelah Arin sampai di tempat mereka.

"Oh kenapa kamu berganti baju?" Kiki bertanya.

"Itu..." Arin tidak memberikan jawaban, karena dia juga terlihat bingung bagaimana menjelaskannya jadi Kiki tidak memaksa Arin memberikan jawaban dan membuka kursi tengah untuk Arin.

Arin duduk, tangannya diletakkan di meja, karena dia mengganti pakaian berupa sweater besar, sehingga luka di telapak tangannya tertutupi oleh lengan besar sweater berwarna putih.

Arin telah dipesankan makanan, dia hanya perlu memakannya sekarang. Tetapi setelah beberapa lama, Arin tidak makan-makan juga.

"Ada apa? Kenapa tidak makan? Bukankah kamu bilang lapar tadi?" Sasha bertanya dengan raut wajah heran menatap Arin.

Tubuh Arin kaku, Arin tersenyum canggung. "Aku akan makan sekarang"

Dia mengangkat tangannya, bersama dengan itu, alis Izkel yang berada di depannya berkerut bingung. Dia tidak yakin dengan penglihatannya, tetapi izkel dia tetap diam dan hanya terus menatap ke tangan Arin.

Ketika Arin memegang sendok, wajahnya menjadi pucat, walaupun begitu dia tetap memegang sendok dengan canggung dan mulai makan dengan pelan.

Setelah beberapa gerakan, dia merasakan lembab di tangannya, sepertinya tangannya kembali berdarah. Jadi dia melihat tangannya, darah mulai tembus dari kain kasa ke sweater putihnya, Arin berhenti makan dan menyembunyikan tangannya.

[Tuan rumah, pahlawan sudah melihat darah di tanganmu]

Dia menatap ke Izkel, benar saja... Dia sedang mengerutkan alis.

"Arin berikan aku tanganmu sebentar" dia masih berbicara dengan lembut.

Arin menggelengkan kepalanya menolak untuk mengikuti perkataan Izkel.

"Aku hanya akan melihat sebentar saja" Izkel membujuk

Arin masih menggelengkan kepalanya menolak untuk memberikan tangannya.

Semua orang yang berada di meja itu memperhatikan interaksi Arin dan Izkel, "Ada apa?" Kiki bertanya

Arin dengan cepat menggelengkan kepalanya, tentu saja dia lebih dan lebih menyembunyikan tangannya ke belakang dari mereka, gerakan ini menarik semua perhatian mereka ke tangannya.

"Perlihatkan tanganmu Arin" Kiki ingin menyentuh tangannya tetap Arin mundur menjauhi tangan Kiki.

Melihat ini Izkel bangun dari kursinya dan berjalan ke Arin, berhenti tepat di sampingnya. Dia memegang tangan Arin tanpa mendapatkan persetujuan.

Izkel melihat darah di sweater Arin, lalu membuka pergelangan tangan sweater itu sehingga memperlihatkan tahan yang dibalut oleh kain kasa, warna merah darah terlihat sangat mengerikan di tangan seputih susu itu.

Kiki dan Sasha terkejut, begitu juga yang lainnya.

"Apa yang terjadi Arin" Sasha bertanya.

"Tidak ada" Arin menggelengkan kepalanya dia ingin menarik tangannya tetapi lengannya sekarang sedang di pegang erat oleh Izkel, dia tidak bisa bergerak sedikitpun.

"Bilen ambilkan kotak obat"

"Oke, tunggu sebentar"

Bilen pergi dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kotak obat di tangannya. Dia menyerahkan kotak obat itu pada Izkel.

Izkel membuka kain kasa yang melilit kedua tangan Arin, setelah membukanya dia membersihkan dengan hati-hati. Arin menggigit bibir bawanya untuk menahan sakit, Air mata menggantung di sudut matanya.

Terlihat sekali Arin sangat kesakitan tetapi di menahan agar tidak bersuara. Izkel yang melihat penampilan ini lebih melembutkan gerakannya untuk mengurangi rasa sakit.

Darah telah di bersihkan, banyak luka sayatan karena pecahan kaca di telapak tangan Arin. Ini terlihat sangat menyakitkan karena telapak tangannya Arin itu tidak hanya satu melainkan seluruh telapak tangan ada luka sayatan.

"Beritahu aku, siapa yang melakukannya?" Izkel berbicara pada Arin masih dengan nada lembutnya.

Mengapa Izkel tidak menanyakan kenapa luka ini terjadi, melainkan bertanya siapa yang melakukannya? Yah... Itu karena dia melihat memar di pergelangan tangan Arin. Tidak mungkin Arin akan membuat memar ini sendiri, Pasti ada orang lain yang melakukannya.

"Tidak ada, aku... Aku yang membuat luka ini" Arin berbohong

Lalu setelah kebohongan itu terucapkan dia melihat ke arah Lana yang sedang melihatnya, tubuh Arin bergetar, dia bergeser ke belakang Izkel untuk bersembunyi.

Melihat pergerakan Arin semuanya menjadi bingung, lalu ikut melihat ke arah yang dilihat Arin. Ada Lana di sana berdiri sambil menatap ke arah mereka. Tidak lebih tepatnya ke Arin yang berada di belakang Izkel.

Mereka semua dengan kompak mengernyitkan dahi, melihat Arin yang ketakutan dengan wajah pucat, mereka tahu siapa pelaku yaang membuat Arin mendapatkan luka ini.

"Lana yang melakukannya kan Arin? Hanya ada Lana di kamar itu tadi" Kiki mulai mengeluarkan tebakannya membuat Arin panik, dia segera membantah.

"Tidak, bukan begitu. Dia hanya tidak senga..."  Arin berhenti berbicara setelah menyadari bahwa dia telah salah bicara.

Dia dengan cepat merubah kata-katanya "maksudku aku yang tidak sengaja memecahkan vas bunga dan terjatuh. Ini tidak ada hubungannya dengan kak Lana. Kalian percayalah padaku" suara Arin terdengar panik.

Lalu dia tidak sengaja bertemu dengan tatapan Lana, Arin membeku dia tertegun lalu menundukkan kepalanya ketakutan.

Izkel yang melihat itu, berkata "jangan mendesaknya, kalian kembali saja dulu, aku akan mengobati Arin dan mengantarnya kembali nanti"

"Oh oke" teman-temannya menjawab,

"Bagus, makasih senior, kami pergi dulu"

Sasha dan Kiki sepakat untuk berbicara pada Lana jadi dia pergi mendekati Lana dan membawanya pergi dengan paksa.

Sekarang hanya tersisa Arin dan Izkel di tempat ini, tidak ada yang berbicara, Izkel melanjutkan kegiatan tangannya. Dia mulai mengoleskan obat ke telapak tangan Arin.

"Sshhh" Arin mendesis karena perih, Izkel mendongak melihat wajah pucat Arin. Izkel melembutkan gerakannya agar bisa mengurangi rasa sakitnya.

Setelah itu dia membalut luka dengan kain kasa lagi.

"Terimakasih kak Izkel" Arin berterimakasih, Izkel baru saja ingin mengucapkan sama-sama tidak jadi karena mendengar suara perut Arin.

"Ah... Itu..." Arin ingin mencari alasan tetapi dia tidak tahu alasan apa yang cocok untuk saat ini, jadi dia tidak berbicara dan hanya menunduk malu.

Izkel terkekeh melihat itu, "Aku akan membantumu makan" dia mengambil sendok baru, lalu menyendok makanan Arin dan mengarahkannya ke depan mulut Arin, dia bermaksud untuk menyuapi Arin makanan.

Arin menatap Izkel dengan ragu-ragu membuka mulutnya dan melahap makanan yang diberikan padanya. Izkel menyendok terlalu banyak, pipi Arin penuh dia makan seperti hamster dengan pipi melotot lucu.

Melihat ini Izkel kembali terkekeh, dia mengusap kepalanya Arin dengan Lembut. Arin yang kepalanya di usap menjadi kaku, dia menatap Izkel dengan malu.

Penampakan yang sangat harmonis, orang-orang disekitar bahkan menatap Izkel dan Arin dengan tatapan iri. Para pria di sekitar berpikir bahwa Izkel sangat beruntung memiliki pasangan seperti Arin, Sedangkan wanita iri pada Arin karena beruntung mendapatkan pasangan seperti Izkel.

Lagi-lagi mereka berdua mendapatkan label sebagai pasangan.

.
.
.
.
.
.
.

   👇🌟

Rebut pahlawan itu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang