[SEASON 1] Drone

14 1 0
                                    

Seorang pria berkulit gelap menggunakan pakaian berwarna putih seperti para penjaga gerbang dengan senjata api di tangan kirinya, sedang memperhatikan lima Petarung berbaju hitam yang bersembunyi di balik semak-semak.

"Hei, kenapa kalian semua hanya diam saja?" pria itu kembali bertanya. "Oh, apa kalian berusaha untuk melarikan diri?"

Pria berkulit gelap itu maju mendekati lima petarung Pasukan Phoenix. Membuat mereka semua harus berjaga-jaga. Lilly sudah mengaktifkan kemampuannya. Ia akan membuat tameng untuk melindungi teman-temannya kalau pria itu menyerang mereka dengan senjata api yang ada di tangannya.

Sengatan listrik menyambar tubuh pria itu hingga tersungkur mencium tanah. Lilly mendapati Glan yang sudah berdiri dengan tatapan dingin.

"Glan, apa yang kau lakukan!" Elena melotot.

"Aku hanya membuatnya pingsan bukan membuatnya mati." Glan menjawab dengan dingin.

"Sial, itu sama saja kau ...."

"Dia berbahaya! Kalau aku tidak melakukan itu, kita semua akan mati disini!" suara Glan sedikit meninggi.

"Oh, begitu. Bukannya membunuh orang adalah hal yang wajar bagi mu?"

"Apa kau bilang!"

Leo mencoba melerai Elena dan Glan, "Berhentilah, bertengkar! Kalian berdua bisa membuat kita semua ketahuan."

Glan dan Elena hanya saling melempar tatapan kebencian. Ini aneh, tidak biasanya mereka seperti ini. Padahal kemarin mereka terlihat baik-baik saja, tapi kenapa sekarang malah seperti ini.

"Sudahlah, lebih baik kita ke belakang bangunan kampret ini. Dia menunggu kita di sana." Felix membaca pesan yang baru saja masuk ke jam tangannya.

"Bagaimana dia bisa menghubungimu? Bukannya ia tidak mengetahui member code mu?" tanya Leo.

"Telepati sangat menguras energiku. Jadi, aku putuskan untuk memberi tahu member code milikku agar bisa menghubungi melalui jam tangan ini." Felix mengangkat jam tangannya keatas. "Kalian tenang saja, dia salah satu mantan petarung Pasukan Phoenix."

"Dia siapa?"

Felix menengok kearah Lilly. "Nanti akan ku beritahu dia siapa."

Leo menengok kearah Felix. "Felix, apa menurutmu ini aman?"

Felix mengangguk mantap. "Aku yakin ini aman. Mereka tidak akan mengejar atau menyerang kita karena Aku dan dia mengendalikan sebagian otak para penjaga."

Lilly sedikit terkejut dengan pernyataan Felix. Ia tidak tahu bahwa Felix bisa mengendalikan otak orang lain. Pantas saja saat keluar dari sel tahanan tak ada satupun sipir yang menghadang. Lalu, untuk apa mereka bersembunyi dan mengendap-ngendap seperti orang bodoh, jika otak para penjaga sudah dikendalikan oleh Felix? Astaga, ingin sekali Lilly menanyakan hal itu kepada Felix. Namun, ia tidak ingin ada sesi adu mulut dengan pria pyrokinesis ini.

"Lalu untuk apa kita bersembunyi di balik semak-semak seperti ini?" pertanyaan yang ingin Lilly ajukan ternyata sudah diwakilkan oleh Glan.

Felix berdecak. "Aku hanya mengendalikannya sebagian bukan keseluruhan. Jadi, masih ada sipir yang belum aku kendalikan. Contohnya sipir barusan."

"Sudah, lebih baik kita kebelakang bangunan sekarang. Sebelum kita ketahuan." Leo mengambil alih komando. Ia tidak ingin teman-temannya debat berkepanjangan dalam keadaan seperti ini.

Tanpa mengatakan apapun, mereka semua bergerak menuju belakang bangunan. Sebelum pergi, Leo memberi dua pilihan. Yang pertama, mereka pergi ke belakang bangunan dengan cara mengelilingi bangunan ini. Yang kedua, kembali masuk kedalam bangunan dan mencari pintu belakang. Dengan cepat, semua memilih menggunakan cara kedua. Menurut mereka itu dapat mengurangi risiko bertemu dengan para sipir. Meskipun, pilihan kedua akan memakan lebih banyak waktu.

Lilly sempat menanyakan perihal ransel kepada teman-temannya. Tapi, ia malah mendapatkan cubitan di kedua pipinya dari Felix. Alhasil, pipinya sekarang terasa sakit karena cubitan Felix. Kalau saja Felix bukan rekan satu timnya, mungkin Lilly ingin sekali menimpuk pria pyrokinesis itu menggunakan bola esnya.

Untuk masalah ransel, mereka semua tidak bisa menyelamatkan ransel mereka karena ranselnya disita oleh para sipir penjara. Menurut Leo, kalau mereka mengambilnya, itu sama saja mereka kembali menyerahkan diri. Jadi Leo dan teman-temannya tidak ingin mengambil resiko tertangkap kembali.

•••

Mereka sudah berada di lorong bangunan, beruntung disepanjang lorong yang mereka lewati tidak ada CCTV yang bertengger di dinding. Jadi, mereka tidak perlu repot-repot meretasnya.

Berkat kemampuan deteksi Glan, mereka dapat mengetahui lorong mana saja yang mengarah pada pintu belakang bangunan. Meskipun dalam pertarungan Glan tidak terlalu mahir, setidaknya ia selalu mendeteksi sesuatu dengan akurat.

"Awas!"

WUSH! Sebuah dron melayang dari arah depan dengan cepat. Belum sempat mereka menghindar, dron itu melepaskan peluru kearah mereka dari arah belakang. Lilly dengan cepat membuat tameng biru untuk melindungi teman-temannya.

"Kalian semua, cepat lari!" seru Lilly yang masih menahan peluru yang terus menghujani tameng birunya.

Glan terlihat mengepalkan tangannya. Percikan listrik mulai terlihat di kepalan tangan. Glan mengangkat tangan kirinya. BUM! Dron yang sedari tadi memuntahkan peluru, meledak begitu saja setelah Glan menyambar dengan electrokinesisnya.

Glan terlihat kesal saat melihat dron yang sudah ia ledakan. "Sial, dron ini tidak bisa di deteksi olehku. Aku yakin selain di jaga oleh sipir, penjara ini juga di jaga oleh dron khusus seperti ini."

"Jam tangan Phoenix juga tidak bisa melacak dron ini." Elena terlihat mengotak atik jam tangan miliknya.

"Kita harus lebih berhati-hati lagi." Leo mulai mengaktifkan psychokinesisnya. "Kita ubah posisi. Aku akan tetap di depan. Elena, kau di barisan kedua. Felix, barisan ketiga. Glan, kau di barisan keempat. Dan Lilly, karena kau bisa membuat tameng, aku memintamu di barisan terakhir."

"Aku tidak setuju. Lebih baik aku di simpan di barisan depan. Setidaknya, aku bisa melindungi kalian semua dari depan." sela Glan dengan nada bicara yang datar.

"Glan, aku tidak ...."

"Percayalah padaku, aku bisa mengatasi dron itu jika mereka menyerang dari depan." tukas Glan.

Leo mengangguk. "Baiklah kalau begitu."

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka benar benar terlihat berhati-hati. Setiap mereka akan melewati tikungan, Glan selalu memeriksanya terlebih dahulu. Setelah merasa aman, mereka pun melanjutkan mencari pintu belakang. Begitu pula dengan Lilly, ia harus memekakkan pendengarannya agar ia tak kecolongan oleh dron-dron itu.

Sampai akhirnya mereka melihat sebuah pintu besi yang sudah berkarat-Itu adalah pintu yang mereka cari.

Dengan cepat, mereka berlari menghampiri pintu besi itu. Beruntung sepatu Pasukan Phoenix di desain khusus agar tidak mengeluarkan suara.

"Leo, pintunya sulit untuk di buka." Glan mencoba menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga.

"Biarku coba." Leo memghampiri Glan. Lalu mencoba membuka pintu tersebut.

"Cepatlah." celetuk Felix yang berdiri bersebelahan denga Lilly.

"Sini, aku akan coba membukanya." Elena mencoba membuka pintu dengan aerokinesisnya.

Belum sempat Elena membuka pintunya. Suara desingan terdengar di sepanjang lorong. Bagi mereka, ini bukan pertanda bagus. Semua yang ada disana mulai mengaktifkan kinesisnya masing-masing terutama Lilly.

WUSH! Lebih dari satu dron terbang kearah mereka. Lilly selangkah lebih maju untuk membuat tameng biru. Tapi 'ntah kenapa, ia tidak bisa menggunakan kemampuannya. Ini aneh, berkali-kali Lilly berkonsentrasi untuk membuat tameng biru. Bukannya tameng itu yang muncul, tapi malah gelembung kecil yang keluar dari tangan Lilly. Tiba-tiba salah satu dron melepaskan peluru kearahnya.

"Lilly, Awas!"

Felix mendekap Lilly dengan cepat. Mata Lilly membulat setelah mengetahui Felix menjadi tamengnya. Pria pyrokinesis itu melindungi dirinya dari peluru yang akan menembus tubuhnya. Sedangkan Felix meringis, merasakan peluru itu menerobos ke punggung sebelah kirinya. Lilly bisa merasakan tangan kekar milik Felix mengeratkan pelukannya.

"Felix!" semua berseru memanggil nama Felix kecuali Lilly.

ANTARES [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang