Felix merasa punggung bagian atasnya terasa panas akibat peluru yang menembus kulit. Tak lama, ia merasakan cairan membahasahi punggungnya. Sudah di pastikan itu adalah darah miliknya.
BUM! BUM! Satu persatu drone yang menyerang mereka di hancurkan dengan electrokinesis milik Glan. Elena mengaktifkan cincinnya, sebuah shotgun sudah siap untuk menembakan peluru terhadap drone yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Leo menggunakan psychokinesisnya untuk mengendalikan gerakan drone agar mudah dihancurkan oleh Glan dan Elena.
Lilly mendudukkan Felix di dekat pintu besi. Ia mencoba untuk membuka pintu besi dengan tenaga yang ia punya. Namun, hasilnya nihil. Pintu tidak mau terbuka sama sekali. Tak ada waktu lagi, Lilly harus segera melakukan pertolongan pertama pada Felix. Ia pun memutuskan untuk menghampiri Felix yang hanya bisa meringis menahan sakit di punggungnya.
Tanpa mengatakan apapun, Lilly membuka baju seragam Felix. Lilly bisa melihat tubuh bagian atas Felix yang berbentuk atletis. Lupakan soal tubuh Felix, kali ini ia harus fokus memberi pertolongan pertama pada pria pyrokinesis yang sedang meringis di hadapannya.
Lilly tidak bisa menggunakan vitakinesisnya karena akan membuat peluru semakin masuk kedalam lukanya. Mau tidak mau, ia harus memberi pertolongan pertama dengan cara manual.
Lilly mengambil perban dari hip pouchnya. Ia mencoba menghentikan pendarahan pada luka Felix dengan menekan lukanya. Perban yang digunakan untuk menekan luka mulai terlihat berwarna merah. Lilly mengambil perban yang masih tersisa di dalam hip pouchnya untuk membantu menghentikan pendarahan.
"Tahan sebentar, Felix." Lilly menumpuk perban yang sudah menempel di punggung Felix dengan perban baru. Ia bisa mendengar Felix meringis saat lukanya sedikit di tekan.
BRAK! Pintu besi terbuka menampilkan seorang pria menggunakan pakaian seperti sipir tahanan. Semua dron yang tersisa tiba-tiba pergi begitu saja tanpa memastikan mangsanya mati.
***
Lilly dan teman-temannya dibawa oleh pria asing itu ke sebuah rumah kecil di tengah hutan dengan obor sebagai penerangan yang membuat rumah itu terlihat jauh dari kata modern. Jarang sekali di zaman sekarang yang menggunakan obor untuk penerangan. Orang-orang lebih memilih menggunakan teknologi lampu yang menggunakan tenaga cahaya matahari atau air.
"Nak, turunkan dia di atas sofa itu." Pria itu menunjuk kearah sofa tua.
Leo yang sedari tadi menggendong Felix, ia menurunkannya di atas sofa tua dengan hati-hati. Beruntung tak ada yang terluka selain Felix. Lilly tidak bisa membayangkan jika teman-temannya yang lain ikut terluka saat melawan dron itu.
"Kita harus mengeluarkan pelurunya tanpa anestesi." Pria asing itu berjalan sambil membawa nampan berisi alat bedah.
Leo terkejut. "Kau akan mengeluarkan peluru tanpa anestesi? Itu sama saja menyiksanya dan meninggalkan trauma, Tuan Jacob."
Lilly memiringkan kepalanya. Ia baru tahu bahwa Leo mengenal pria asing ini.
"Kita punya seorang Vitakinesis. Dia bisa mengurangi rasa sakitnya." Pria asing yang disebut Jacob oleh Leo, sudah duduk dibelakang Felix. "Kemari lah, nona Vitakinesis. Aku butuh bantuan mu."
Tanpa banyak bicara, Lilly duduk didepan Felix. Ia bisa melihat keringat sudah membasahi rambut Felix. Tak lupa wajahnya sudah terlihat pucat. Rasa khawatir mulai muncul. Lilly takut hal yang tidak diinginkan terjadi kepada Felix.
"Kau tidak usah khawatir, luka tembak adikmu termasuk luka ringan karena kecepatan peluru yang dron gunakan yaitu 340m/s." jelas Jacob.
Semua mata tertuju pada Jacob dengan tatapan tak percaya, setelah mendengar ucapannya. Bukan penjelasan tentang kecepatan peluru yang membuat mereka melempar tatapan seperti itu, melainkan jacob yang menyebut Felix sebagai adik Leo.
"Jadi kau dan Felix adalah adik dan kakak?" Glan bertanya untuk memastikan.
Leo menatap teman-temannya yang saat ini sedang menatapnya. "Ya, Felix adalah adikku."
"Dugaan Ku selama ini ternyata benar. Kau dan Felix adalah saudara." timpal Elena melipat kedua tangannya di dada.
Glan ikut melipat kedua tangannya, "Kenapa tidak bilang dari awal, kalau kau dan Felix adalah saudara?"
"Itu tidak penting." Leo mengalihkan pandangannya kearah Felix, "Yang terpenting sekarang, selamatkan Felix."
"Kalau begitu kita mulai sekarang, Lilly kau tahu kan apa yang harus kau lakukan?" Jacob menatap Lilly.
Lilly mengangguk. "Ya, Tuan Jacob. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."
Kali ini Lilly sudah memegang kedua tangan Felix. Ia mulai berkonsentrasi, mencoba mengurangi rasa sakit yang Felix rasakan saat pengambilan peluru berlangsung. Meskipun Lilly sudah mencoba mengurangi rasa sakitnya, tetap saja Felix masih merasa sakit yang luar biasa saat sesuatu mencoba merobek kulit di punggungnya. Felix hanya bisa menahan sakit sambil mengigit kain yang diberikan oleh Lilly. Felix mulai merasakan sesuatu dikeluarkan dari lukanya.
"Selesai, pelurunya sudah keluar. Sekarang giliranmu nona." ujar Jacob.
Lilly beranjak dari tempatnya. Sekarang ia sudah berada di belakang Felix. Lilly menggunakan Vitakinesisnya untuk menyembuhkan luka Felix. Tidak butuh waktu lama, luka Felix sudah menghilang.
"Leo dan Glan bawa Felix kedalam kamar itu. Biarkan dia istirahat hingga besok." Jacob menunjuk pintu yang ada di sebelah kiri.
"Aku benci dengan orang yang bisa membaca identitasku." celetuk Glan sambil memapah Felix dengan bantuan Leo kedalam kamar yang di tunjuk Jacob.
Sekarang hanya ada Jacob, Lilly, dan Elena. Mereka memutuskan untuk mengobrol sambil meminum air hangat yang diberikan oleh Jacob. Jacob menjelaskan, bahwa dahulu ia pun seorang Petarung Pasukan Phoenix. Ia bergabung dengan Pasukan Phoenix selama 5 tahun setelah itu ia memutuskan untuk keluar. Alasan ia mengundurkan diri adalah ada beberapa hal yang harus di urus di sini.
"Apa kalian dapat menebak berapa umurku?" tanya Jacob.
Elena mengacungkan tanganya. "Umurmu 30 tahun."
Jacob menggeleng.
Lilly memperhatikan wajah Jacob sejenak. "Kalau tidak salah umurmu 40 tahun?"
Jacob menjentikan jarinya. "Benar, lebih tepatnya 48 tahun. Hampir seumuran dengan ayahmu Lilly, Charlotte."
"Bagaimana kau bisa tahu ayahku?"
Jacob meminum air hangat di gelasnya, "Ayahmu adalah pemimpin Pasukan Phoenix saat aku masih disana. Dan aku tahu bahwa ayahmu memiliki dua anak yaitu kau dan juga kakak laki-laki mu."
"Wah, sepertinya Tuan Jacob sangat dekat dengan ayah Lilly." ujar Elena sambil menyimpan gelas di atas meja.
Jacob tersenyum. "Aku tidak begitu dekat dengan Charlotte. Tapi, terkadang aku mengobrol dengannya saat berada di perpustakaan markas Phoenix."
"Ya, itu bisa dibilang kau dekat dengan ayahku."
Jacob beranjak dari duduknya. "Sudah larut malam, lebih baik kalian berdua tidur. Besok pagi aku akan memberikan sesuatu pada kalian."
"Apa itu?" Lilly penasaran.
"Bukan apa-apa. Kalian bisa gunakan kamar yang itu untuk beristirahat." Jacob menunjuk pintu sebelah kamar yang digunakan Felix untuk beristirahat.
Lilly mengangguk. "Baik, Maaf merepotkan mu, Paman."
"Sudah seharusnya aku menolong kalian." Jacob tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES [COMPLETED]
Aventura[BOOK 1 : ANTARES] Lima petarung dari Pasukan Phoenix mendapatkan misi penting yaitu mencari lima tin pétra untuk menyelematkan Ratu yang telah di culik oleh para pemberontak. Perjalanan mereka mencari lima tin pétra sangatlah panjang dan sangat men...