Satu dasawarsa sejak mengikat janji,
pertanyaan lelaki itu masihlah sama:
"Kapan kita punya kaki-kaki mungil
untuk menapaki rumah ini
dan peluk cium untuk diberi setiap pagi?"Kerlingan si wanita serupa, seraya dia sisihkan abu rokok di asbak
Menghisap detik-detik sebelum balas berucap, "Kita sudah sepakat.""Kita kian tua." Demikian desak si lelaki, berulang kali
Abu masih berjatuhan dari puntung
Pundi-pundi tak kunjung untung,
pikir si wanita yang, lebih daripada itu,
takut benih yang tumbuh kelak menjelma sepertinya,
atau lelakinya: yang mana pun, tak ada yang lebih baik"Untuk apa?" tanya si wanita, lagi
"Mengurus kita kala renta."
"Lalu?"
"Memberi kita cucu-cucu lucu."
"Selain itu?"
"Mencipta kebaikan-kebaikan di Bumi."
"Kau yakin?" ucap si wanita, kini membaca surat kabar
Ledakan bom di katedral kemarin, teredar di atas lembarSi lelaki mengangkat bahu
Beranjak membikin kopi, mengecup kening sang istri
Menutup tirai jendela, menghindari intipan serta bisikan tetangga,
dan mengucap doa hening, 'Tuhan lebih mengerti kami.'***
Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenopsia (Kumpulan Puisi)
ŞiirKumpulan puisi keempat (2019-2021). Kenopsia, n. the eerie, forlorn atmosphere of a place that's usually bustling with people but is now abandoned and quiet. (Harap mencantumkan sumber setiap repost/share) Highest Rank: (pernah) #2 in #Poem, #1 in...