[ Chapter 6 ]

3.6K 267 16
                                    

POV

Pagi ini, Gun sedang membuat sarapan di dapurnya karena sekarang ada Singto juga di apartemennya, jadi Gun menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Kebetulan sekarang adalah akhir pekan.

Singto mendekati Gun yang sedang memasak dan merangkul pinggangnya dari samping, menatap Gun yang sedang serius memasak. "Phi, jangan menatapku seperti itu. Duduklah, sebentar lagi akan matang," ucap Gun sambil mendorong Singto dengan siku agar tidak mendekat saat dia sedang memasak. Namun, Singto tetap tidak mendengarkannya.

Singto malah semakin menjahili Gun dengan menepuk-nepuk kepala Gun, meniupi pipinya, dan banyak lagi hingga Gun berhenti dan menatap Singto dengan tajam. "Aaaaaa, P'Singto, diamlah. Aku sedang memasak. Jika kau terus menggangguku, kapan makanan ini selesai?" Singto hanya tertawa lalu mengecup kepala Gun. Dia pun segera kembali ke kursinya dan menunggu Gun selesai dengan masakannya.

"Gun, hari ini temani aku belanja, lalu setelah itu kita bisa jalan-jalan. Bagaimana?" Gun menata makanan di meja lalu mengambil minuman untuk mereka berdua. "Oke, dengan senang hati, asal semua yang aku beli, P'Sing yang membayarnya," ucapnya lalu memamerkan lesung pipi-nya. Singto mengulurkan tangannya dan mengusap lubang-lubang kecil di pipi Gun.

Gun memukul tangan Singto agar dia tidak terus menerus mengusap lesung pipinya.

"Baiklah, apa pun untukmu, Gun." Gun hanya memberikan kedua jempolnya pada Singto, lalu dia segera memakan sarapannya dengan lahap.

"Masakanmu selalu enak, Gun," ucap Singto. Gun memang selalu memasak dengan enak bagi Singto. Setiap masakan Gun wajib dihabiskan.

Walaupun Gun selalu malas untuk memasak, tetapi setiap masakannya begitu enak. Bahkan masakannya mengalahkan masakan ibunya.

Bukan hanya Singto saja yang memuji masakan Gun, tapi seluruh keluarga Singto juga mengakui keahlian memasaknya. Pasti jika ibunya mendengar bahwa dia memakan masakan Gun, dia akan meminta Gun mengirimkan masakan itu untuknya.

"Terima kasih. Aku memang selalu pandai memasak. Bahkan seluruh orang akan tergila-gila dengan masakanku, hahaha."

"Tentu, termasuk aku juga tergila-gila dengan masakanmu, Gun." Mereka tertawa lalu menghabiskan sarapan mereka dengan canda-gurau.

Sudah lama Singto tidak bertemu dengan Gun, tapi sepertinya sekarang dia tidak akan merindukannya lagi karena sekarang dia sudah berada di Bangkok.

Gun membereskan piring mereka berdua lalu mencucinya di wastafel. Sedangkan Singto, dia sedang memilih-milih film apa yang bagus untuk mereka berdua menonton sambil menunggu jam 10 nanti karena mereka akan pergi ke Siam Paragon.

"Gun, kau mau film apa? Akan kupilihkan." Singto menarik tangan Gun agar dia segera duduk di sampingnya.

Gun mengambil handphone Singto lalu dia memilih film yang akan dia tonton. Sepertinya horor akan lebih baik karena Gun suka film horor.

Singto menatap Gun dengan ekspresi sengit saat Gun memilih film horor. Dia menyesal telah meminta Gun untuk memilih film.

"Sepertinya aku menyesal telah menyuruhmu memilih film," ucap Singto. Gun hanya tertawa melihat wajah lesu Singto. Dia tahu bahwa Singto tidak menyukai film horor.

"Kau yang menyuruhku untuk memilih, Phi. Nikmati saja filmnya," ucap Gun sambil memeluk Singto. Singto hanya pasrah dan membalas pelukan Gun.

Film baru saja dimulai, Singto sudah memejamkan matanya. Gun yang melihatnya hanya tertawa melihat Singto yang takut untuk melihat film horor.

"Bagaimana cara kau menikmatinya jika semua matamu ditutup, hmm?" Singto tidak mendengarkan ucapan Gun, dia hanya fokus untuk menutup matanya.

Film terus berjalan, Gun menikmati setiap adegan horor yang ada di filmnya, sedangkan Singto masih dengan mata tertutupnya.

"P'Sing, filmnya sudah selesai. Kau boleh membuka matamu," kata Gun. Singto membuka satu persatu matanya, ternyata benar film susah selesai.

"Lain kali, jika aku ingat, aku tidak akan membiarkanmu memilih film."

"Baiklah, baiklah, tidak lagi. Oke?" kini mereka memilih untuk menonton TV biasa dan mengobrol sambil menunggu jam 10.

"P'Sing, kapan kau mulai dengan pekerjaanmu?" tanya Gun karena Singto sudah dipindah alihkan ke rumah sakit ternama di Bangkok. Sebelumnya, Singto bekerja di Chiang Mai, namun sekarang dia dipindahkan tugasnya menjadi di rumah sakit di Bangkok.

"Mungkin Senin aku akan mulai bekerja. Jadi, nikmatilah hari-hari bersamaku sebelum aku sibuk dengan pekerjaanku."

"Whoo, cepat sekali. Aku hanya punya waktu sampai besok?" Singto mengangguk sebagai tanggapan, lalu dia menarik Gun ke dalam pangkuannya dan memeluk seluruh tubuh Gun dengan tangannya.

Gun menyandarkan kepalanya pada pundak Singto. Dia selalu suka saat Singto memeluknya seperti ini.

"Phi, apakah aku tidak berat?" Singto menempelkan dagunya di pundak Gun, lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat, membuat Gun tertawa karena geli.

Gun meronta-ronta, namun Singto tetap menggelitiki pundak Gun dengan dagunya, sampai akhirnya mereka berdua berakhir dengan saling memeluk di sofa.

Singto mendekap Gun, memeluknya begitu erat, menyembuhkan wajahnya di leher Gun yang beraroma vanilla yang selalu dia sukai.

"Gun, harummu tidak pernah berubah. Andai saja kau makanan, pasti akan kumakan sampai habis." Gun terkekeh, memukul pundak Singto.

"Kau akan memakanku? Jika Phi memakanku, maka nanti tidak ada lagi yang seperti aku, bagaimana?" Singto mengecupi pipi Gun, lalu mengangkat tubuhnya yang sedang tertidur di atas sofa menjadi terduduk di pangkuannya.

My Dear LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang