45-MBA

903 61 6
                                    

Setelah kejadian tadi, mereka langsung saja meng-kebumikan jenazah keduanya.

Hujan deras kembali mengguyur bumi, angin kencang juga tidak lupa akan tugasnya yang menambah suasana.

Tangisan terdengar di mana-mana meski semuanya sudah tidak berarti apa-apa, hanya bisa menyesali keadaan yang telah ada.

Candra tidak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri ketika mengetahui kebenarannya.

Kemarin lelaki itu hanya mampir sebentar ke sekolah Alana, tidak sempat melihat semua bukti yang ada.

Tetapi Keisya langsung mengirimkan bukti kebenaran semuanya kepada Candra, tak tersisa sedikitpun.

Baru saja ia kembali dari makam Alana, tatapannya seperti terlihat benci dengan dirinya sendiri.

Langkahnya gontai memasuki rumah, tangisnya tidak berhenti di perdengarkan.

Bi Sum datang menghampiri Candra dengan menuntun Vivi yang saat ini duduk di kursi roda, keadaan psikisnya masih terganggu seperti perkataan Candra kemarin.

Candra langsung duduk di lantai tepat di samping Vivi, lelaki itu mengelus pelan rambut Vivi.

"Ma, Alana sudah pergi. Anak bandel itu ninggalin kita ma," tangisnya pecah, tetapi Vivi tidak menghiraukan malah terus berbicara sendiri.

"Semua memang salah Candra, Candra sebagai abang emang enggak berguna apalagi bertanggung jawab. Seharusnya Candra selidiki lagi lebih dalam."

Candra terus menangis dan meletakkan kepalanya di pangkuan Vivi, Vivi masih terus berbicara sendiri dengan boneka yang berada di tangannya.

"Alana udah enggak ada, keadaan mama juga kayak gini sekarang. Semuanya karena Candra!!!" lelaki itu berdiri, kemudian membanting barang-barang yang ada di sana.

Kedua tangannya mengepal kuat, emosinya memuncak, lelaki itu berjalan mengambil pisau dan melukai pergelangan tangannya.

Meskipun seperti itu, ia sama sekali tidak merasakan sakit.

Bi Sum berusaha menghentikan Candra untuk melakukan yang tidak-tidak lagi, tetapi lelaki itu bersikeras dan berakhir memecahkan kaca lemari yang berada tidak jauh dari hadapannya.

Bi Sum ikut menangis kemudian menuntun lelaki itu untuk duduk di sofa dan menenangkannya.

"Den Candra harus istighfar den, semua hal yang sudah terjadi tidak bisa di ulang kembali."

"Tapi bi, semuanya salah Candra, pasti selama ini hidup Alana menderita banget di luar sana."

Bi Sum memeluk Candra dan mengelus rambut lelaki itu perlahan-lahan, Bi Sum juga ikut menangis. "Tidak ada yang kekal di dunia den, suatu saat kita semua akan kembali bertemu kok di akhirat."

"Bibi percaya, semisal Alana masih ada pasti dia juga bakal maafin aden kok. Bibi kenal Alana lebih dari bibi kenal anak bibi sendiri, non Alana itu baik banget den. Makanya waktu bukti itu ada, bibi kaget kalau aden justru percaya."

"Makanya Candra bilang kalau Candra abang yang enggak berguna bi," lelaki itu berucap sembari menangis sesenggukan.

"Penyesalan memang selalu di akhir, sebenernya menyesal itu tidak penting. Aden hanya perlu memikirkan dan memperbaiki semuanya untuk hari ini karena apapun yang terjadi sekarang, itu bagian dari kejadian yang aden ciptain sendiri di hari-hari kemarin. Dan kejadian yang akan datang, itu tergantung bagaimana aden menata hari ini dengan sedemikian baiknya." Candra menangis sejadinya di pelukan Bi Sum, kemudian wanita paruh itu menenangkan Candra seperti anaknya sendiri.

"Jangan pernah tinggalin Candra ya bi. Candra sayang bibi," mendengar hal itu, Bi Sum kembali tersenyum dan mengecup pucuk kepala Candra dengan kasih sayang yang ia punya.

My Boyfriend Alfaro (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang