٢٥

1.5K 141 1
                                    

Why always me?

Kepergian Alna membuat Bintang kembali teringat akan sosok Husein, juga membuat Bintang merasa bersalah pada Alna. Ia merasa seolah menjadi penghalang atas kebahagiaan Alna, tapi sepenuhnya bukan salah Bintang, ia bahkan tidak tahu apa-apa.

"Kenapa selalu aku?" lirih Bintang.

"Sudah ya, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin cinta yang Alna rasakan terlalu kuat untuk Husein, ataupun aku. Mungkin dia terlalu memaksa dan terlalu berharap saat itu, hingga Allah memilihmu untuk menjadi pelajaran bagi Alna," ujar Haikal menenangkan.

Bintang meresapi yang dikatakan Haikal dalam-dalam. Memang ada benarnya juga, tapi ia masih merasa bersalah.

"Mengapa kamu memilih orang yang tidak mencintaimu, padahal sebenarnya ada orang lain yang rela memberikan cintanya untukmu?" tanya Bintang.

Haikal terhenyak, ia mengembuskan napas pelan.

"Karena aku memilih untuk mencintai," ucap Haikal tegas.

"Jika memang Bintang belum bisa untuk mencintaiku, setidaknya aku merasa tenang, karena sedari awal aku tidak memilih untuk dicintai. Ataupun jika Bintang mencintaiku karena bayang-bayang Husein, aku tidak keberatan. Meskipun sakit, jika itu bisa membuatku untuk terus bersamamu, maka akan aku jalani," lanjut Haikal.

Bintang bisa merasakan sesakit apa Haikal mencintainya, mungkin Haikal tahu bahwa segala yang Bintang lakukan adalah tidak lain hanya karena kewajiban, tanpa cinta. Ia melihat linangan air di sudut mata Haikal, dalam satu hari ia sudah membuat dua orang menangis.

"Jika kehadiranku hanya menyakitimu, kenapa tidak lepaskan saja?" ucap Bintang sembari menunduk. Sontak Haikal langsung menatap Bintang lekat.

"Demi Allah Bintang, jangan berkata seperti itu lagi, itu tidak akan pernah aku lakukan," kata Haikal.

"Atau mungkin, Bintang yang tidak bahagia hidup denganku," lanjut Haikal lirih.

Bintang langsung menggenggam tangan Haikal, bukan maksudnya seperti itu. Ia hanya tidak ingin Haikal terus merasakan sakit.

"Maaf, bukan maksudku seperti itu," kata Bintang, ia kemudian menunduk dan merutuki perkataannya.

"T-tapi, sejujurnya aku cemburu jika ada wanita lain yang dekat dengan Haikal," lanjut Bintang.

Hal itu Bintang rasakan sejak pertama kali Alna datang ke rumah ini. Hatinya memang belum menimbun rasa cinta, tapi ia cemburu. Sebuah rasa yang mungkin selalu dikait-kaitkan dengan rasa cinta.

Perkataan Bintang rupanya mampu membuat Haikal menyunggingkan senyumnya, kupu-kupu seolah melayang dalam hatinya. Ini perkembangan yang luar biasa bagi Haikal, ia suka.

**

Segelas vanilla latte yang dibiarkan begitu saja oleh seseorang di hadapannya itu perlahan mendingin. Matanya menatap kosong, raut wajahnya memancarkan kesedihan.

Setelah dari kediaman Haikal, Alna mampir pada sebuah kedai kopi. Kedai ini bertema menyatu dengan alam, meja-meja untuk para pelanggan pun ada di luar ruangan, membuat siapa saja yang datang ke sini bisa dengan bebas meminum kopi sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan mata.

Sedikit ia meminum vanilla latte tersebut, kemudian mendiamkannya lagi. Hingga tiba-tiba saja dua orang yang tidak asing bagi Alna duduk di hadapannya.

"Kalian kok ada di sini?" tanya Alna pada dua orang adik Haikal.

"Iya, janjian sama temen satu kelas mau ngumpul di sini. Biasalah kak, pelajar masa tenggang," ucap Husna.

"Kebetulan juga liat kakak sendirian di sini, jadi samperin dulu deh," kata Hasna.

Alna hanya ber-oh ria, ia sedang tidak ingin banyak mengobrol sekarang.

"Kak Alna kenapa?" tanya Hasna. Dalam sekejap Hasna bisa membaca ekspresi guru privatnya itu.

"Enggak, enggak kenapa-napa," kilah Alna.

"Bohong nih, cerita lah," desak Hasna.

"Iya kak, cerita aja, lagian kita juga sering curhat kan sama kakak, jadi sekarang gantian," ucap Husna.

Alna diam beberapa detik, kembali meminum sedikit vanilla latte yang tak lagi hangat itu.

"Apa kakak termasuk orang terdekat kalian?" tanya Alna.

"Jelas lah, kan kakak yang bantuin kami belajar kalo di rumah," ucap Husna yang disetujui oleh Hasna.

"Tapi tidak bagi keluarga kalian kan?"

Hasna dan Husna saling pandang, mereka tidak mengerti dengan maksud Alna sebenarnya.

"Pasti dekat lah kak, Abi sama Ummi kan kenal sama Kak Alna," kata Hasna.

"Tapi waktu kakak kalian nikah kok kakak nggak dikasih tahu?"

"E-eh, itu ya," Hasna menggaruk tengkuknya yang tertutup oleh hijab.

"Kalo itu kami juga nggak tahu deh, urusan orang tua. Tapi maaf ya kak," ucap Husna.

"Iya nggak apa-apa kok," ucap Alna disertai kekehan kecil.

"Nanti Husna salamin deh sama Bang Haikal," cetus Husna.

"Eeeh, nggak usah, tadi kakak udah ke sana kok," elak Alna.

"Kakak ke rumah Bang Haikal? Ngapain?" tanya Husna.

Alna menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sepertinya ia salah bicara. Ia hanya melempar senyum sebagai jawaban dari pertanyaan Husna.

"Bisa bantu kakak?" tanya Alna pada dua orang adik Haikal.

~
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Ngaji kuy

Bintang dan Kenangan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang