٢٤

1.4K 139 3
                                    

Jika Allah sudah berkehendak, tidak ada siapapun yang bisa melawan.

Hari libur, hari yang banyak dinanti oleh orang-orang sibuk dari senin sampai sabtu. Termasuk Haikal, ia bahkan dengan semangat menyambut minggu pagi dengan berolahraga.

"Udah siap?" tanya Haikal pada istrinya yang sedang memakai sepatu.

"Udah, ayo!" sahut Bintang.

Mereka mulai melakukan sedikit pemanasan, lalu lanjut berlari keliling komplek perumahan. Dari blok A lalu ke blok D dan kembali lagi ke blok A. Rumah mereka berada di blok A, berlari sampai ke blok D saja Bintang sudah ngos-ngosan, apalagi sampai ke blok J, blok terakhir di perumahan ini.

Bintang jongkok di tepi jalan, membiarkan Haikal berlari seorang diri. Baru satu ronde, belum juga balik lagi ke titik awal, tapi Bintang sudah tidak kuat lagi, ia butuh istirahat.

Dirinya memang jarang sekali olahraga, ini bahkan pertama kalinya Bintang jogging lagi setelah lulus dari sekolah.

Dari jarak sekitar sepuluh meter, Haikal menoleh ke belakang ... melihat istrinya yang sudah tertinggal jauh. Ia balik berjalan menghampiri Bintang yang masih jongkok di tepi jalan.

"Bintang kok nggak bilang kalo mau istirahat?" tanya Haikal. Ia ikut duduk di samping Bintang dan menyelonjorkan kakinya.

"Masih mau lari apa mau jalan aja sampai rumah?" tanya Haikal lagi.

"Bintang jalan aja, Haikal kalau mau lari nggak apa-apa," kata Bintang.

"Nggak, mau jalan aja."

Sekitar pukul tujuh lebih lima belas menit, mereka sampai di rumah. Sebelumnya mereka mampir pada tukang bubur di taman komplek untuk sarapan, setelah itu lanjut pulang.

Sepagi ini sudah ada yang bertamu, siapa lagi kalau bukan Alna—yang sudah berjanji bahwa akan datang hari minggu, tapi Bintang tidak mengira akan datang sepagi ini.

Haikal sudah menjelaskan semua pada Bintang, tapi tetap saja Bintang tidak suka. Ia memegang lengan Haikal kuat, kemudian berjalan menghampiri Alna yang sudah ada di depan pintu rumah.

"Hai, kalian baru lari pagi ya?" tanya Alna begitu Haikal dan Bintang ada di hadapannya.

"Ayo masuk," titah Bintang.

Ketiganya sudah duduk pada sofa, tidak ada yang mengawali pembicaraan.

"Mau bicara apa ya sama suamiku?" tanya Bintang, menginterupsi.

"Boleh bicara berdua saja?" kata Alna balik bertanya.

Berbicara berdua artinya Bintang tidak boleh mendengar, yang berarti juga harus pergi meninggalkan suaminya berdua dengan wanita lain.

"Tid ...."

"Jika mau, bicara bertiga saja di sini," sergah Haikal memotong ucapan Bintang, membuat Alna tersudut dan mengalah.

"Baik, kapan kalian menikah?" tanya Alna basa-basi.

"Kurang lebih dua minggu yang lalu," jawab Haikal.

"Kenapa tidak mengundangku? Padahal aku temanmu dan teman Bintang juga."

"Acaranya memang khusus untuk keluarga dan orang-orang terdekat saja," lagi-lagi Haikal yang menjawab. Secara tidak langsung ia menganggap bahwa Alna tidak begitu dekat dengannya, bahkan tidak sama sekali.

"Selamat ya, padahal tadinya aku mau silaturrahmi sama orang tuaku ke rumahmu, tapi rasanya sudah tidak mungkin," ujar Alna.

"Tapi aku boleh kan menyampaikan sesuatu?" lanjut Alna.

"Apa?" tanya Bintang, ia sudah panas dingin mendengar ucapan Alna tadi, itu artinya Alna berniat melamar Haikal kan? Itu yang Bintang tangkap.

"Untuk Haikal," ucap Alna sembari menyunggingkan senyum pada Bintang.

"Terima kasih sudah menghidupkan kembali hatiku, setelah sebelumnya sempat patah karena seseorang. Dulu aku mencintai seseorang, tapi orang itu melamar orang lain, kemudian meninggal tepat di hari pernikahannya. Sekarang aku mencintaimu, dan lagi-lagi aku kalah oleh orang itu," ungkap Alna.

Bintang berpikir, apa yang dimaksud Alna adalah dirinya? Ia bahkan tidak tahu sama sekali.

"M-maksud kamu, orang itu aku?" tanya Bintang terbata.

Alna mengangguk, "Aku bahkan sudah mengagumi Kak Husein sejak masih di pesantren, tapi ia memilihmu yang katanya adalah sahabatnya sejak masih kecil. Sekarang aku mengagumi Haikal, ternyata ia juga memilihmu untuk dijadikan istri. Katakan Bintang, kenapa selalu kamu?"

Alna mulai menangis sesegukan, Bintang ingin memeluk Alna, ia juga merasakan sedih mendengar ceritanya. Tapi pergerakan Bintang seolah terhenti, ia terpaku dan hanya bisa diam saja.

Haikal bilang bahwa Alna adalah guru privat adik kembarnya, seringkali Alna ke rumah untuk mengajari Hasna dan Husna. Bukan hal yang sering Haikal bertemu dengan Alna, ia bahkan tidak tahu sama sekali jika Alna menyukainya, mengobrol saja tidak pernah.

Mengenai Husein, Bintang tahu Alna mengenalnya. Terlebih lagi saat di pesantren dulu, Husein adalah kakak kelas yang memiliki banyak penggemar. Selain karena ia anggota pengurus pondok, Husein juga sering bantu-bantu di rumah kyai.

"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Bintang ikut terisak.

"Ini takdir, percaya saja bahwa Allah sedang menyiapkan yang terbaik untukmu. Sekarang jika sudah tidak ada lagi yang mau disampaikan, saya mohon segera meninggalkan tempat ini," ujar Haikal sembari mendekap Bintang.

"Baik, terima kasih. Assalamu'alaikum," ucap Alna, ia mengusap air matanya kemudian melenggang pergi.

"Wa'alaikumussalam."

~

Bersambung

Jangan lupa baca al-qur'an.

Bintang dan Kenangan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang