٢٦

1.4K 136 0
                                    

Mengenang seseorang yang tak ingin lagi dikenang.

Angin sepoy-sepoy mampu menerbangkan dedaunan kering yang jatuh di atas tanah. Bukan hanya daun, tapi juga jilbab yang Bintang kenakan terlihat melambai-lambai mengikuti tiupan angin.

Bintang tengah berdiri di halaman rumah, sembari menyirami segala tanaman dengan selang air. Haikal sudah berangkat kerja sekitar satu jam yang lalu, jadi ia tidak memiliki kesibukan apapun sekarang.

Suara motor berhenti mengalihkan perhatian Bintang, ternyata Hasna dan Husna yang datang. Mereka seolah tahu bahwa Bintang sedang membutuhkan teman.

"Assalamu'alaikum Kak Bintang," ucap mereka serempak.

"Wa'alaikumussalam, kalian nggak pergi sekolah?" tanya Bintang.

"Kelas dua belas udah bebas sekarang Kak," jawab Husna.

"Iya, kita ke sini mau ngajak Kak Bintang jalan-jalan," kata Hasna.

"Jalan-jalan ke mana?" tanya Bintang, ia masih fokus menyirami segala tumbuhan yang ada.

"Ke mana aja deh, yang penting jalan-jalan. Kita butuh penyegaran otak sebelum ujian akhir, Kak," ujar Husna.

Bintang terkekeh, memang ada benarnya juga. Ia pun menghentikan aktivitasnya, menggulung selang kemudian menaruhnya di dekat keran air.

"Ya sudah ayo, tapi tunggu kakak ganti baju dulu ya," ucap Bintang.

"Ayo sini masuk," lanjutnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Bintang untuk bersiap, ia hanya mengganti gamis, kerudung dan cadarnya saja.

Jika pergi bersama dengan Hasna dan Husna, Bintang terlihat seumuran dengan mereka. Selain karena tingginya tidak beda jauh, ia juga masih cocok jika bergaul dengan anak-anak remaja.

"Sebentar kakak ngabarin Bang Haikal dulu ya," kata Bintang.

Seorang istri baiknya tidak keluar rumah tanpa seizin suami, beruntungnya Haikal mengizinkan Bintang untuk pergi.

"Udah yuk berangkat," ajak Bintang.

Bintang mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, sedangkan Hasna dan Husna langsung menuju ke sepeda motor yang sudah terparkir di depan rumah.

Entah adik kembar Haikal ini akan membawa kakak iparnya ke mana, Bintang ikut saja.

Jika dipikir-pikir, rasanya sudah lama sekali Bintang tidak mengendarai sepeda motor sendiri. Terakhir kali adalah saat sebelum menikah, itu pun dengan jarak yang tidak terlalu jauh—yaitu ke Masjid At-Taqwa untuk mengikuti kajian khusus muslimah.

Setelah cukup lama sepeda motornya membelah jalanan, akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Mereka berhenti pada sebuah objek wisata alam yang cukup terkenal, banyak muda-mudi yang datang ke sini, bahkan dari kalangan orang tua pun banyak. Tidak heran, karena tempat ini memang sejuk dan layak untuk dikunjungi.

"Kita duduk di sini dulu yuk, katanya Kak Alna masih di jalan," kata Husna.

Bintang sedikit kaget, ternyata ada Alna juga. Tidak masalah sebenarnya, tapi setelah kejadian kemarin, rasanya mungkin akan ada sedikit kecanggungan.

"Alna juga mau ke sini?" batin Bintang. Tapi tidak, sepertinya ia berucap, karena Hasna dan Husna dapat mendengar ucapannya.

"Kak Bintang juga kenal sama Kak Alna?" tanya Husna.

Bintang mengangguk pelan, setelah itu hening. Bintang hanyut dalam pikirannya sendiri.

Sedekat apa Alna dengan mereka? Kekhawatiran yang tidak beralasan mampir begitu saja dalam benak Bintang. Apa mungkin karena tahu bahwa Alna sangat dekat dengan kedua adik iparnya? Memang bukan hal yang salah, tapi perasaan seperti itu datang dengan sendirinya.

Bintang dan Kenangan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang