Asrama No 24 dan Keamanan

244 42 9
                                    

Di asrama ke dua empat, pintu kamar no empat terbuka dengan tempo agak lembut oleh seorang pemuda yang merupakan penghuninya. Sang penghuni yang tak lain adalah Fenly, kemudian berjalan perlahan menuju kasurnya dengan niatan merebahkan diri, namun dengan itu, ia seraya melirik ranjang milik rekan kamarnya. Baru saja Fenly mendudukkan dirinya di tepi ranjang, ia mendengar sedikit kegaduhan di luar. Iapun bergegas untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.

****

Tubuh Fajri yang tak sadarkan diri digotong menggunakan tandu oleh beberapa mahasiswa berban lengan hitam dan satu mahasiswa berjas putih dengan label laboratorium kesehatan. Gilang memandu di sisi depan gerombolan itu. Para penghuni yang tersisa di asrama dua empat lantai atas tersebut  bereaksi dengan tatapan panik dan bertanya-tanya. Seorang pemuda yang datang lebih dulu ke gerombolan itu terkejut ketika mendapati siapa gerangan yang digotong, lalu ada Ricky yang masih berjalan menyusulnya dengan langkah tak gopoh.

Gilang berintruksi menghentikan pergerakan para mahasiswa keamanan FIB, dan agaknya mahasiswa lab kesehatan dibelakangnya memberi tatapan tanya kepadanya, Gilang tak sempat memberi gubrisan.

Anak ini dari asrama dua empat, benar? “ tanya Gilang sambil memutar kepalanya sekilas ke arah Fajri yang masih terpejam.

“Dia habis elo apain b*bi!”  ketus Farhan, seraya menatap Gilang.

Gilang tak terlihat tersinggung sama sekali dengan sarkasme yang ia dengar. Tangan Ricky sampai pada bahu Farhan untuk menenangkan.

Heh! lo t*l*l apa nyampah? nggak paham kondisi?” cibir salah seorang anggota keamanan FIB pada Farhan.

Farhan menghela napas kasar, mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Agar saya bisa menjelaskan, tolong beri tahu di mana kamarnya?” bujuk Gilang, wajahnya terlihat kelelahan.

Dia kamar nomor dua, mari!” sahut Fenly tiba-tiba, yang entah sejak kapan datangnya.

Anak laki-laki berkulit susu tersebut juga terkejut melihat Gilang, tepatnya terkejut melihat luka gores yang masih terlihat basah pada salah sisi wajah rekan kamarnya tersebut.
Fenly seketika berjalan di depan gerombolan memandu arah, sekaligus tak menyadari bahwa Farhan menatap kesal padanya.

*****

Anak itu berasal dari asrama elo.”

Arlex melirik sejenak pada Shandy setelah mengujarkan pernyataannya.

Oh..”

Shandy terdiam pasrah ia tau siapa yang dimaksud Arlex, asrama dua empat kini agaknya sudah mulai sering dibicarakan di kalangan keanggotaan keamanan pusat. Tentu, pemuda yang kian berjalan di sampingnya tersebut merupakan ketua anggota keamanan di tingkat universitas.

Shandy dan rekannya itu kemudian berpisah di persimpangan lorong lantai dua gedung fakultas mereka. Itu karena mereka berbeda jurusan.

*****

Sambil mengamati pemandangan kota yang tertata rapi dari perbatasan ke teras lantai tiga aula asrama, Zweitson merangkul tiang kapel hingga sisi pipinya menempel ke plester bagian kapel tersebut, mirip seperti seseorang yang tak memiliki pelampiasan pelukan. Ada satu keganjalan yang ia rasakan ketika ia melihat lamat-lamat beberapa mahasiswa beralmamater dan berban lengan berdiri di sebuah atap  gedung di sisi Timur Laut asrama dua empatnya, gerak-gerik mereka tampak serius mengawasi gedung asrama yang sedang Zweitson tempati.

*****

Kini Fajri telah dibaringkan di kasur miliknya sendiri. Farhan menatap Gilang penuh selidik, yang ditatap menatap serius pemuda yang kian tak sadarkan diri tersebut. Suasana begitu hening sampai pada akhirnya Gilang mulai angkat bicara.

“Saya memutuskan, saya berusaha agar Fajri tak perlu diserahkan terlebih dahulu ke tingkat pusat keamanan perguruan tinggi. Jadi meski dia liar, saya hanya perlu mengawasi dia sampai dia mau mengungkapkan kepada saya alasan mengapa dia sering berbuat onar,  tugas kalian para penghuni asrama ini yang peduli terhadap Fajri, tolong bantu saya agar rencana saya berhasil, dalam artian lain, tolong kalau Fajri tiba-tiba berbuat sembarangan lapor saja ke saya, ya, kan, saya sudah menjadi bagian dari asrama ini, saya sekamar dengan anak yang memberi arahan ke kamar ini, tadi,” papar Gilang, tak melepas pandangannya dari Fajri.

Jadi untuk abang-abang yang tadinya marah-marah tenang aja, dia hanya terkena efek biusan, biar mudah dibuat tenang,” lanjutnya.

Farhan menghela napas halus. Fenly yang tadinya berdiri di samping Ricky yang sedang melamun dengan posisi punggung berada pada sandaran dinding, kemudian berjalan mendekati Gilang lalu menarik tangan wakil ketua keamanan universitas tersebut dan seakan berjalan keluar dari kamar Farhan, salah seorang anggota keamanan FIB menghentikan langkah mereka dengan memanggil Gilang.

Tadi abang bilang cukup abang sendiri aja yang mengawasi anak ini, kalau begitu, apakah kami boleh kembali ke kampus? karena kami sedang ada tugas lain yang harus dikerjakan, saya dan anak-anak sasindo di sini punya deadline nanti Sore,” pinta salah satu anggota keamanan FIB tersebut.

“Oh iya silahkan! kecuali mas Firdaus!” intruksi Gilang.

*****

Setelah Zweitson selesai menuruni anak tangga, ia berlari melalui lorong di berbagai titik. Hingga ia memutuskan ke kamar nomor dua, karena meyakini hanya kamar itu yang masih ada penghuninya di asrama ini. dan ketika ia sampai, ia mendapati Fajri terbaring di kasurnya, Farhan melamun di tepi kasur Fajri dan Ricky melamun dengan posisi bersandar ke tembok, ia juga mendpati mahasiswa kesehatan merapikan alat-alat kesehatan di kopernya.

Tadi ada apa?”

Mungkin saja, pertanyaan Zweitson sedikit dapat menghapus keheningan.

*****

Kok bisa sih bang, luka di pipinya abang ampe kayak gitu?” tanya Fenly panik sembari terburu-buru untuk segera menghampiri kotak P3K di tembok yang berdekatan dengan ranjang Fenly.

Gilang yang melihat tingkah Fenly merasa bingung harus bertingkah yang bagaimana. Selama Gilang menempuh pendidikan di perguruan tinggi ini, ia memang sering melihat mahasiswa berperangai lembut dan perhatian dengan sesama mahasiswa yang lain, tetapi untuk dirinya sendiri, ini adalah yang pertama kalinya, apalagi seorang mahasiswa tersebut baru- baru ini mengenalnya, dan juga bahkan sebelumnya, belum ada percakapan panjang di antara mereka. Gilang jadi ingat, bahwa ia sebenarnya memiliki seorang penggemar yang merupakan mahasiswa jurusan antropologi, tetapi sayangnya penggemarnya tersebut begitu agresif dan terlalu memaksakan kehendak, dan yang membuat Gilang bergidik, rumornya penggemarnya tersebut pernah menjadi rekan predator sesama jenis pada waktu SMP.

Nggak papa kok, cuma kecelakaan tugas,” jawab Gilang kemudian.

Fenly lalu menghampiri Gilang dengan membawa obat merah, plester, dan kapas. Ia menarik tangan Gilang, menyuruhnya duduk di tepi ranjang Gilang. Fenly mendekatkan wajahnya dan menyentuh sekitar luka di wajah rekannya tersebut, hal itu tanpa Fenly sadari membuat Gilang merasa gugup. Mata Fenly tiba-tiba membesar, luka goresan tersebut agak begitu dalam.

Luka yang kayak gini harusnya tadi langsung dijahit,” gumam Fenly, aroma mulutnya yang wangi tentu dapat tercium oleh rekannya.
Tanpa sengaja, pandangannya bertemu dengan mata Gilang yang kecoklatan, jantungnya berdetak lebih kencang dengan tiba-tiba, wajah itu kemudian menjauh dari sisi wajah rekannya.

“Bentar, aku bikinin air hangat dulu bang, buat ngompres,” pamit Fenly seketika.

Belum juga kaki itu benar-benar melangkah, Gilang menarik tangan Fenly sebagai bentuk cegahan.

“Makasih, ya,” ucap Gilang sambil tersenyum pada Fenly.

Apa ini?!, batin Fenly merujuk pada deskripsi hatinya yang saat ini tak mampu ia mengerti.

*****

Halo para pembaca setia maupun yang baru membaca, terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca fanfic ini 💕. Dan author ucapkan terima kasih bagi yang telah memberikan vote dan komentar. Author berharap semoga kalian semua terhibur, dan seperti biasa, author berpesan agar kalian jaga kesehatan dan buat hari-hari kalian menjadi menyenangkan. Terima kasih... 😊💕







Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang