Sisi Kelam

121 23 2
                                    

Fenly membalas pelukan itu, sekaligus seperti tengah kehilangan kesadaran, ia, memompa lebih cepat melalui pembulu darahnya, menggertakkan setiap partikel keberadaannya. Ini bukan untuk yang pertama kali Gilang memeluknya sebagai bentuk berbagai ungkapan, tetapi siapa sangka, kini ia merasakan kembali sensasi yang sama seperti saat pertama kali ia mendapat pelukan itu. Di sisi lain, Gilang sendiri terlalu nyaman menunjukkan lebih banyak sisi emosionalnya pada Fenly, kendati ia belum terlalu lama berteman baik dengan rekan kamarnya itu, ia tak memiliki alasan akan hal itu karena ia juga tak mengerti bagaimana bisa ia merasa bahwa menunjukkan apapun kepada Fenly ia akan aman dan tentram.

"Aku lega banget hari ini persidangannya ditunda," ungkap Gilang, masih mendekap Fenly.

Gilang kemudian melepas dekapan itu; Fenly menatap tanya padanya.

"Oh, iya, aku belum banyak cerita sama kamu," kata Gilang, lagi.

Gilang menutup pintu kamar tersebut. Seraya melangkah maju secara perlahan melewati Fenly, ia menjelaskan sesuatu.

"Salah satu dari penghuni asrama ini harus ada yang hadir dalam persidangan sebagai terdakwa, kamu pasti tau dia siapa," jelas Gilang.

Ia kemudian berbalik dan menatap Fenly, "Aku sedang berusaha Fen, sesuai tugasku, demi... ," Gilang tak melanjutkan.

"Demi apa?" Fenly penasaran.

Bukannya memberi jawaban berupa lafal, Gilang malah menatap Fenly dengan semiotika wajah yang seperti menyembunyikan sesuatu.

"Demi kondusifnya keadaan."

Gilang membalik tubuhnya kembali dan berjalan serong ke arah ranjangnya. Fenly mengernyitkan dahinya.

"Apa mukaku ini muka-muka yang nggak cocok buat dapat dipercaya?"

Gilang tertawa sekilas, dan kemudian duduk di tepi ranjang.

"Ya... sebenarnya ada alasan lain sih, tapi bahkan diri aku sendiri kurang yakin kalau sesuatu yang lain itu adalah bagian dari alasanku juga, dahlah... aku rebahan dulu,"

Fenly terpaku, pandangannya masih tertahan pada rekan kamarnya, sepersekian detik ia tersenyum.

*****

Ruang Kerja Keamanan (Gedung Direktorat Ornanmawa Universitas)

Imran tengah sibuk dengan lawan bicaranya di telfon. Seraya itu, kakinya bergerak cekatan untuk mempermudah melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang wajib baginya dilakukan sebelum ia meninggalkan ruang kerja ke duanya tersebut. Gorden ruangan itu telah menutup jendela, dan lampu ruangan itupun ia nyalakan mengingat bahwasannya saat ini menjelang petang.

"Maka dari itu saya harus secepatnya ke kediaman beliau lagi," tanggap Imran untuk lawan dialognya.

"Oh, iya, maaf sebelumnya kalo saya bertanya tentang masalah yang bukan ranah saya melainkan ranah yang menjadi urusan bapak, tapi ya... tidak papa sih... jika bapak tidak memberitahunya, toh saya penasehat tata hukum keamanan dan bapak adalah penasehat pertahanan dan kemiliteran," tutur dari suara yang berada di telfonnya.

"ha,ha, ha,ha,ha... silahkan saja bapak... saya itu orangnya santai. Silahkan saja bapak bertanya, tetapi jika pertanyaan bapak terlalu... ya... begitulah..., maka saya akan diam saja."

"Baik, eeeh... begini, di antara foto-foto yang bapak sodorkan ke prof Mughni, apa ada foto mahasiswa keamanan yang tidak bapak berikan tetapi sebenarnya anggota keamanan itu layak di kampanyekan kepada prof Mughni? Karena, bagaimana bisa Prof Mughni tak memilih salah satu dari mereka kecuali Arlex?"

Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang