Dengan berangsur-angsur, para mahasiswa meninggalkan kelas itu. Sebenarnya, Gilang sudah mendapat pesan sejak dari tadi Pagi. Hanya saja, ia baru sempat membuka ponsel pintarnya setelah jam pertama perkuliahan itu berakhir. Nama Arlex terpampang sebagai nama kontak pengirim, dan pesan itu berisikan permintaan agar ia mendatangi kediaman Prof. Mughni pada jam tujuh Pagi tadi. Gilang memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku celana, tanpa menghilangkan guratan di antara kedua alisnya.
Setahu Gilang, Prof Mughni tidak pernah mendatangkan orang-orang keamanan ke kediamannya tanpa pemberian suatu perintah. Sejujurnya, ia ingin beristirahat dari penugasan organisasi, dan ingin merasakan lebih lama hari-hari lazim sebagai mahasiswa biasa, tetapi bahkan ia tidak pernah mendengar, ada orang yang menolak perintah dari sang pendiri perguruan itu.
"Gilang!" Panggil seorang mahasiswa di seberang bangku sebelahnya.
Dengan sekilas, kepalanya dianggukkannya ke atas; sebagai persamaan tanggapan, "Ada apa?".
"Ikut Malam puisi nggak? besok."
Gilang menggantungkan pertanyaan itu. Wajahnya tampak berpikir, dengan mata yang belum berpaling dari lawan dialognya di seberang sebuah bangku.
*****
Fakultas Psikologi
Fiki berjalan terburu-buru menyusuri koridor alternatif yang tak begitu ramai. Dalam perjalanan menuruni anak tangga, ia sempat memelankan tempo langkahnya dan mencuri dengar pembicaraan dua orang yang sedang mengambil jalur ke lantai atas.
"Sumpah, unive awak dewe ki pancene aneh tenan kasuse ki koyok cerita horor, wingi lusa, aku diceritakke sama orang kemahasiswaan, sempet ana mahasiswa sing digawa ke rumah sakit gara-gara mari digorok karo kancane." (Sumpah, universitas kita memang aneh banget, kasusnya itu kayak cerita horor, kemarin lusa, aku diceritain sama orang kemahasiswaan, sempat ada mahasiswa yang dibawa ke rumah sakit gara-gara habis digorok sama temannya).
"Astaghfirullah ... cah asrama ndi iku?" (Astaghfirullah ... anak asrama mana itu?).
"Mboh, aku lali." (Nggak tahu, aku lupa).
Fiki termasuk yang sering mendengar berita-berita mengerikan, dan ia tak bisa mengabaikan cerita-cerita tersebut begitu saja. Jikapun ia tak mendengar hal-hal sadis, ia pun juga tak jarang mendengar atau bahkan mendapati hal-hal yang dzalim. Dan dengan sekian banyaknya berita di lingkup pemoeda 97 tersebut, ia pernah mengambil kesimpulan; bahwa banyaknya kejahatan itu, dikarenakan tak sebatas dari jumlah orang-orang yang dapat dihitung, karena satu suara berita mengajak atau mendorong yang lain melakukan hal-hal yang sifatnya sama dan begitu seterusnya, karena merasa tak sendiri menjadi sorotan hukum. Dan parahnya, ia tak pernah mendengar orang-orang ornamawa bisa menyelesaikan satupun kasus dengan benar-benar tuntas, ia maklumi, organisasi itu sendiri saja orang-orangnya bermasalah dan labil. Syukur, baru kemarin, ia dapati satu kasus yang benar-benar tuntas; kasus Fajri, diselesaikan oleh tim Gilang.
*****
Asrama 24
Ricky tidak ada jam kuliah Pagi, jadi ia menghabiskan waktu Paginya untuk berolahraga apapun termasuk lari keliling asrama. Fajri memerhatikan Ricky melintas lagi, entah sudah putaran yang ke berapa.
"Rick!" Panggil Fajri dari balkon.
Di bawah, Ricky menghentikan langkah larinya seraya menengok ke atas, melihat Fajri bersandar di bagian pembatas balkon.
"Hoi ...! Ji!" Sahut Ricky.
"Nggak kuliah lu, Rick?!"
"Bolos gua!" Canda Ricky, terkekeh geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardian in My Room
FanfictionSinopsis Terbaru* mengisahkan sebuah kehidupan di perguruan tinggi berasrama khusus maha pelajar laki-laki. Di Sebuah perguruan tinggi berasrama bernama "Universitas Pamoeda 97", didirikan sebuah organisasi keamanan untuk menjaga ketertiban , kesta...