Menuju Persidangan

94 26 0
                                    

Pukul 05.00+

Kamar No. 2 Asrama 24

Jarum-jarum waktu telah terbit...

dari celah bulu sayap Albatros

yang melewati tiap batasan ruang

dan batasan eunoia

ketahuilah...

suatu akhir akan terjadi

aku akan membantumu menutup mata

terbius dengan kepercayaan

dan kamu tak akan merasakan apapun

sehingga kamu...

merasa kemenangan itu mimpi

Sedangkan itu nyata...

Demikian, Gilang menuliskan sesuatu itu di sebuah kertas yang setelah itu ia lipat dan ia taruh di lantai yang sekiranya pandangan Fajri dapat langsung menjangkau begitu bocah itu bangun. Posisi rebah bocah itu memang terlalu menepi dari kasurnya, jadi begitulah inisiatif itu digunakan. Kertas itu dipampang dengan jelas, ditindihi oleh sebuah botol yang masih berisikan air.

*****

Pukul 06.00 +

Kediaman Pendiri (Kamar Prof. Mughni)

Kamar itu memang sederhana, rapi dan syahdu dalam kelenggangan nan penyinaran halus sang surya yang melewati jendela dalam celah penyingkapan. Terlihat seorang pria sepuh melangkah ringkih ke arah cermin besar yang di pajang di dinding. Prof Mughni mulai melepas songkok hitam dari atas sirahnya. Penglihatannya yang udzur mencari-cari sesuatu yang seharusnya tersedia di ruangan itu.

"Liz...," Profesor memanggil seseorang.

Tetapi panggilan tersebut bukanlah panggilan familiar kepada asisten beliau yang biasanya, yang pasti, ada orang lain lagi. Dan benar, seorang wanita paruh baya berjilbab selendang kebaya dan tentu terlihat lebih muda dari profesor datang melewati pintu ruangan yang dominan terbuka. Wanita itu adalah yang pernah bertemu dengan salah seorang mahasiswa dari asrama dua empat, ya, itu Ricky. Wanita itu mengatakan pada Ricky bahwa ia merupakan adik kandung profesor.

"Sampeyan iki sadurungé wes nyiapake klambiku ta d'urung'?" (kamu itu sudah menyiapkan pakaianku apa belum?) tanya Prof Mughni pada adiknya yang mengernyit bertanya-tanya.

Adik perempuan profesor terlonjak, "Oh, d'urung'!" (Oh belum)

"Laiyo, ta jaréku wes disiapno," (Ya ampun, kukira sudah disiapkan) kata Profesor sambil tertawa redam oleh kalimatnya.

Adik Profesor bergegas ke almari kayu jati di sudut kamar yang berdekatan dengan jendela, mengambil barang yang diminta mamasnya.

"Adriana sido ra, meréné?" (Adriana jadi apa tidak ke sini?)

"Sido kok," (Jadi kok) jawab adiknya yang sedang memilah-milah baju di kolom almari.

Syahdan, tak ada perbincangan, sampai Prof Mughni kembali bersuara setelah ia duduk di tepi kasurnya, beliau juga tampak merenungi sesuatu.

"Jané aku iki mesakaké karo cah kuwi, ra nduwé bojo yo ra nduwé anak." (Sebenarnya, aku ini kasian sama anak itu, nggak punya suami juga nggak punya anak)

*****

Kamar No. 2 Asrama 24

Begitu alam sadarnya kembali ia kendalikan, sungguh, aroma wangi yang tak jarang singgah di ruangan ini tercium lagi. Ia tau pasti, ini menandakan Gilang habis mendatangi kamar ini sebagaimana ending di mimpinya. Bedanya, di akhir mimpi itu ia mendapati Gilang berbaring di sampingnya seraya membelai rambutnya dan sesekali mengelus pipinya; semua itu dengan gestur selayaknya Fajri telah lama menjadi orang terkasih Gilang. Sungguh, itu bukan pertama kali ia dipermalukan oleh mimpi tidurnya sendiri. Namun, begitu ia bangun, ia tak mendapati siapapun melainkan aroma parfum mint yang baginya seperti memberi sensasi di pegunungan es yang fantasional, aroma yang juga tercium di mimpinya. Itu karena walau mata seseorang terpejam dan pikirannya berada dalam kendali dunia lain, tetapi sistem indera penciumannya masih bekerja di dunia nyata terlebih apabila aroma itu begitu pekat dan memiliki sensasi yang tajam.

Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang