Penyelidikan

119 31 10
                                    

Asrama 2 Kamar No. 3

Dengan salah satu tangan yang dua jemarinya mengapit seputung rokok yang menyala, seorang penghuni kamar nomor tiga dari asrama dua merebahkan diri di kasurnya dengan menyandarkan punggung di permukaan tumpukan bantal dan guling. Namun saja, ia terpaksa lekas membangkitkan tubuhnya dari perebahan tatkala ketukan pintu dari luar yang terdengar tipis tetapi memuakkan untuk didengar berkali-kali mengusik waktu kesendiriannya. Gagang pintu kamar tersebut ditekannya ke bawah, lalu terbukalah pintu itu--- menampakkan sosok wakil ketua keamanan universitas bersama dua rekannya.

"Kami kemari ingin meminta keterangan dari masnya, atas peristiwa pencurian barang oleh seorang mahasiswa, di sebuah supermarket."

Penghuni kamar itu terkekeh, menatap ketiga orang dihadapannya dengan tampak sedikit menimbang-nimbang.

"Masnya bukannya wakil ketua yang baru?"

Itu agaknya merupakan pertanyaan basa-basi, tapi tak berkesan basa-basi.

Gilang tersenyum tipis,"benar," jawabnya kemudian.

"Jadi, kita bisa berbicara di sini, apa di kantor ornan pusat?" celetuk salah satu rekan tim F Gilang.

"Di sini saja!"

Penghuni kamar itu melangkah mundur memberikan ruang ketiga orang tersebut untuk masuk. Tiada yang tahu, saat kakinya mulai melangkah masuk, terbesit kewaspadaan di diri seorang waket keamanan untuk mengintogerasi sang penghuni kamar itu. Dalam sudut pandangnya, sang penghuni adalah orang yang lumayan tenang. Agak canggung dan kurang mengenakkan untuk membayangkan wajah marah dan ketakutannya.

*****

Asrama 24

Pagi itu, adalah Pagi yang masih memberikan kecerahan seperti Pagi-Pagi sebelumnya. Angin yang cukup lama bertransmisi di negeri ini bahkan tak segan-segan menyapa segala materi dengan urakan seperti halnya menerpa wajah seseorang yang tengah melintasi suatu koridor yang berada di luar lantai dua asrama 24. Ricky tak terlihat serius juga tak terlihat keki, wajahnya bahkan tak bisa dikatakan tengah bermimik santai, entah, ekspresi macam itu. Sesekali ia terbatuk tanpa sebab, mungkin karena sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.

Ia seketika memelankan langkahnya hingga hampir terjeda saat ia berpapasan dengan Fajri yang kebetulan juga melintasi koridor itu. Ia menyapa anak laki-laki itu dengan ekspresi yang kini berubah tak percaya. Fajri tersenyum seketika, tetapi bahkan Rickypun mengerti bahwa mata anak laki-laki itu tak berbohong mengenai kesedihan yang terpancar di sana. Kaki itu akhirnya benar-benar berhenti, dengan posisi yang telah bertukar arah dengan adik tingkatnya tersebut.

"Ya ampun ji, lama nggak keliatan, lu baik-baik aja?"

Ricky melayangkan pertanyaan semacam itu seakan-akan Fajri baru saja menghilang dari negeri ini. Padahal, ia tak menghilang, hanya saja bersembunyi di suatu tempat yang bahkan Rickypun kapan saja bisa mendatanginya. Orang memang selalu memiliki alasan untuk menghindari sesuatu, termasuk Ricky, pikir Fajri. Ia sadari, ia adalah monster pasif yang sewaktu-waktu dapat menjadi agresif tanpa siapapun mendunganya, jadi, bukan salah Ricky jika Ricky berhati-hati untuk bertingkah atau sekedar bertemu dengannya, dengan segala rumor yang ia dapatkan dan yang ia sembunyikan dibaliknya.

"Gua baik-baik aja," renspon Fajri, seraya tersenyum.

Ricky menghela napas, lalu mendekati Fajri dan kemudian menepuk salah sisi pundaknya.

"Gua rasa, masalah bikin lo banyak berubah, please... balik jadi kayak lo yang sebelumnya, jangan kayak gini, punya masalah jangan dipendem, nggak usah malu, nggak usah ragu-ragu buat ngomong ke orang terdekat. Selama kita tinggal bersama di asrama ini, apa iya Farhan maupun gua pernah memberi renspon mengecewakan saat lo bercerita apapun?"

Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang