Kemasifan Rahasia Gilang

95 19 4
                                    

Pukul 19.00+

Aula (lt 3 Asrama 24)

"Saya ingatkan sekali lagi, Asrama Dua empat itu sudah mulai masuk dalam daftar catatan keamanan, jadi, saya harap, setelah ini kita semua sebagai para penghuni asrama dua empat... bisa lebih kompak lagi, bisa saling mengisi satu sama lain dalam artian sebagaimana keluarga, dan... saya harap jangan sampai ada kekacauan lagi, saya tau, kita semua memiliki latar belakang, kepribadian dan bahkan di antara kita yang sesama mahasiswa pun, mengambil jurusan dan fakultas yang berbeda-beda, tapi, menurut saya itu bukan alasan untuk tidak saling bahu-membahu dan membangun rasa kekeluargaan di antara kita, karena nantinya pun, kalau kita sudah terjun di masyarakat kita juga bakalan harus bisa bergotong-royong bersama warga yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda juga."

Gilang mencoba persuasif dalam pidatonya, dan nampaknya itu akan berhasil. Semua penghuni asrama dua empat yang duduk membentuk formasi lingkaran di aula tersebut tampak begitu antusias; mengangguk-angguk setuju dan tersenyum menyaksikan pembawaannya.

"Oleh karena itu, sekali lagi, yuk! kita sama-sama kompak, ya! Setuju?!" seru Gilang.

"Setuju!!!" jawab para penghuni Asrama Dua empat serentak, bahkan termasuk pengurusnya.

Fenly tak henti-hentinya memerhatikan Gilang dengan ulasan senyum yang seolah sukar memudar. Akan tetapi, tiba-tiba saja ia teringat pada kejadian di Siang tadi. Pelukan Gilang kepada Fajri saat mereka di FTE, membuatnya iri. Syahdan, pupil matanya yang kecoklatan begitu mudah menemukan keberadaan Fajri saat ini. Fenly menyaksikan Fajri yang kian duduk di samping Zweitson. Tak ubahnya tatapan kagum seorang bayi yang tak berdosa kepada makhluk indah yang baru diketahuinya--- Fajri memerhatikan dengan sebegitu tertariknya kepada Gilang. Fenly akui, dibarengi dengan kontur wajah yang dingin dan sengit; Fajri juga memiliki rupa imut kekanak-kanakan yang menggemaskan, dan Fenly iri; seakan tak mensyukuri anugerah rupawan mukanya sendiri.

*****

Rumah Shohibbin (Kediaman Prof. Mughni Shohibbin (Tempat Penginapan Tamu dari Pihak Keluarga))

Setelah selesai mengaji kitab suci; yang mana merupakan keistiqomaannya setiap ba'da Isya', Adriana melepas mukenahnya. Ada yang baru diingat, bahwa kakaknya, Amirah Laila Zariyat, mungkin sebentar lagi akan pulang bersama Haliza dari tempat ziarah yang paling terkemuka di pulau itu. Ia harus menyiapkan masakannya agar bisa makan bersama-sama sebelum Haliza kembali ke kediaman utama Prof. Mughni.

Kurang dari setengah jam, masakan sudah terhidang dengan apik di meja makan. Adriana--- kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi dan menidurkan kepalanya di atas kedua tangannya yang ia lipat di atas meja. Pandangannya kosong, pikirannya mengarung ke berbagai arah, dominan memikirkan permasalahannya dengan sang ayah.

Ia membutuhkan kata-kata yang bisa mengungkapkan perasaan yang jauh lebih sekedar muak terhadap ayahnya. Selama bertahun-tahun sejak ia kehilangan putranya, Adriana tak dibiarkan keluar rumah seperti yang ia mau. Lalu pihak keluarga Prof. Mughni tiba-tiba menghubungi pihak keluarganya, untuk meminta ayahnya sekedar berkunjung ke kediaman Prof Mughni untuk Silaturrahim dan melihat-lihat suasana Universitas Pemoeda 97 yang semakin berkembang pesat, sekaligus untuk dapat merayakan dies nalies bersama. Tetapi ayahnya itu meminta maaf sebesar-besarnya karena kali ini ia tak bisa memenuhi permintaan sanak terbaiknya karena ada tuntutan dari pihak aliansi yang juga seakan menuntut hidup dan matinya, dan itu sedikit membuat Prof. Mughni kecewa. Lalu tiba-tiba saja berganti Haliza yang meminta kepada ayah Adriana itu melalui telepon, agar Adriana saja yang berkunjung karena Haliza benar-benar merindukannya. Ayah Adriana begitu percaya pada keluarga sepupunya--- keluarga Prof. Mughni, oleh karena itu ia mengizinkan sang putri keluar dari penjara mewahnya selama bertahun-tahun.

Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang