Bercermin pada Masa Lalu

99 18 0
                                    

· Peringatan: mengandung banyak adegan kekerasan!

Orang-orang bersenjata ­­­­­­­­­­senapan -­­­­­ layaknya teroris - menginvasi berbagai sisi hotel dengan sukma ankara mereka. Suasana yang terjadi begitu mengerikan untuk para penghuni dan lebih-lebih untuk para staf yang bertugas. Seorang hotelier bergerak cepat, pergi ke ruang pemeriksaan CCTV sekaligus mendial nomor aparat berkali-kali, merasa seolah hidup dan mati banyaknya orang di bangunan itu bergantung pada kecepatannya dalam mengambil keputusan dan bertindak.

Letupan senapan terdengar berkali-kali dari segala penjuru. Sosok pemuda yang baru lulus dari SMA - Gilang - dengan rambut barunya yang blonde, mengenakan kemeja merah kotak-kotak tersingkap; memperlihatkan kaos oblongnya yang berwarna hitam. Slayer yang ia gunakan sebagai penutup mulut dan sebagian hidungnya melonggar. Kerutan di antara kedua alisnya begitu kencang. Tangannya menenteng senapan; siap menembak dalam situasi apapun. Kakinya tersinkronisasi taktik dengan baik, bergerak dan melesat mengintimidasi ruang demi ruang.

Di belahan sisi lain bangunan, ada tempat-tempat yang menjadi persembunyian dan jalan keluar dari orang-orang yang paling ketakutan. Sebuah kamar hotel dengan nomor '112', di dalamnya seorang pria berpakaian formal khas perkantoran tengah mendekap dan mencoba menenangkan kekasihnya, sekaligus merasa panik luar biasa karena pintu kamar itu tengah didobrak-dobrak dari luar oleh seseorang. Tak cukup sekedar dikunci, pintu kamar itu juga ia tahan dengan beberapa benda di dalam ruangan itu.

Hotel tersebut, merupakan sebuah hotel yang baru saja dibangun di kawasan Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Meski begitu, bangunan itu sudah dijadikan tempat pertemuan oleh beberapa kawanan menteri beserta antek-anteknya juga pertemuan oleh beberapa kapitalis terkemuka di hari yang sama. Namun, di balik semua itu, tedapat sisi temaram yang seperti ada relasi antara mereka dengan peristiwa mencekam yang tengah terjadi.

Gilang komat-kamit menyerapah. Kamar '112' tak berhasil ia dobrak, ia yakin ada benda-benda berat yang dapat menahan pintu tersebut dari dalam. Gilang pun melanjutkan perjalanan agresinya. Tantangan berat pada misi kali ini, mau tak mau, nantinya, ia harus menembaki sasaran dengan jarak dekat. sebelumnya, ia selalu diberi posisi sebagai penempak jarak jauh dari tempat tersembunyi. Yang mana biasanya dalam dunia militer disebut sniper.

Tak lama, ada seorang pria paruh baya berpakaian formal tanpa setelan jas yang rupanya salah mengambil jalur untuk melarikan diri. Orang itu kepergok oleh penglihatan Gilang, wajahnya yang pucat tampak panik setengah mati dan lalu berbalik arah untuk segera kabur. Peluru dari lubang senapan bertipe AR-15, Gilang lesatkan dengan seketika. Satu nyawa itu pun tumbang dengan menyedihkan.

Pada beberapa tangga darurat, orang-orang berpijak setengah berlari dengan tangisan batin yang mereka rasakan. Di antara mereka ada pemandu amatir yang secara terpaksa mengorbankan jaminan keselamatannya. Lebih tepatnya, orang itu adalah seorang koki yang ditugaskan melayani pengunjung VIP, ia lebih memilih berkali-kali berhenti di tempat sambil memberi intruksi kepada orang-orang agar cepat-cepat turun dan mengkondisikan semuanya dengan lebih baik.

suara tembakan semakin brutal terdengar di segala arah. Brian telah mengintai mereka, orang-orang munafik yang mencoba turun ke bawah dengan kepencundangan yang kali ini mereka tunjukkan di wajah mereka, dan Brian benci mereka semua. Ia tak langsung menyerang, sebab mereka terlalu banyak, jadi, ia berniat menyusun rencana dadakan. Brian mengangkat protofon dan mendial kode sambung menuju sohibnya.

"Di tempatku orang-orang pada ke bawah, kau siaga saja di dekat tangga terdekat, nanti aku serang dari atas kau yang di bawah, oke?!" intruksi Brian, setengah menawar.

"Oke!" suara dari seberang, yang terdengar seperti suara Gilang.

Beralih ke latar di mana Gilang berposisi, pemuda itu berlarian mencari-cari tangga darurat terdekat, lebih tepatnya, untuk menemukan target. Dan, sebuah celah telah terlihat, itu adalah celah ruang di mana para targetnya mungkin sebentar lagi akan melintas. Dan benar saja, lamat-lamat, terlihat di celah itu orang-orang terburu-buru turun menuju tangga darurat setelahnya. Gilang hampir kehilangan sebagian besar dari mereka. Ia mempercepat pacuan alas sepatunya. Namun ia agak bimbang setelah sampai. Mereka semua berpakain formal, ia tak bisa mengidentifikasi siapakah di antara mereka yang merupakan politisi, dan ia terpaksa menembaki sembarang orang, dan pun, banyak nyawa yang berjatuhan dengan sia-sia. Gilang menyerapah dalam hati, "Brian brengsek! Dia yang nawarin intruksi dia juga yang terlambat!". Tak lama, datang seorang koki dan wanita dengan menggendong seorang anak kecil perempuan dari lantai atas yang malangnya terlambat menyusul rombongan. Anak di gendongan wanita itu menagis terlalu kencang sambil memeluk ibunya. Dua orang dewasa itu mundur secara perlahan di atas dataran pembatas kelokan anak tangga. Wajah sang koki menampakkan kondisi dirinya yang setengah pasrah namun juga tetap bergelagat menjamin keselamatan wanita dan anak kecil itu. Sedang wanita itu mulai bercucuran air mata dan menatap Gilang seolah berkata, "Tolong ... jangan tembak kami!". Bagaimanapun, Gilang adalah manusia biasa, yang hatinya bisa dibolak-balikan oleh Sang Maha Kuasa. Ia tak bisa melihat air mata itu, juga anak kecil di gendongannya. Gilang perlahan menurunkan senapannya yang sebenarnya telah siaga. Lalu, tiba-tiba saja sebuah peluru mengenai puncak kepala wanita itu dan darah pun muncrat bagai pancuran, wanita itu ambruk dengan sekarat. Baru Gilang sadari, wanita itu memakai pakaian formal, tapi sungguh persetan dengan pakaian itu. Tak bisakah si penembak itu melihat anak kecil di gendongan mamanya?

Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang