Petang yang dinanti

234 41 6
                                    

Merenung, menghirup udara sore sekaligus mendengar lantunan tarkhim menjelang Maghrib adalah saat-saat di mana jiwa seorang muslim agaknya seperti ingin kembali ke fitrahnya. Ricky tak kunjung turun, tubuhnya masih bertumpu pada pagar pembatas balkon lantai tiga. Rambutnya tersilir angin halus oleh angin senja yang ramah. Ia sekaligus menanti masuknya waktu karena kini adalah gilirannya sebagai muadzin di mushalla perasramahan terdekat.

*****

Aulion memandangi secara bergantian antara data tertulis dalam lembaran kertas dan dalam layar komputer. Sebagaimana seorang penanggung jawab yang sah, yaitu sebagai anggota pengurus asrama dua empat, ia juga bertanggung jawab atas data-data simpanan yang tertulis. Beberapa detikpun berlalu, pintu ruang kantor sekaligus ruang pribadi Aulion terketuk oleh seseorang di luar. Aulion beranjak, membuka pintu tersebut yang dalam keadaan terkunci. Pemuda itu terkejut dengan siapa yang didapatinya. Itu adalah Gilang, yang penampilannya seperti telah bersiap berangkat ke masjid dengan kopiyah hitam, sarung berwarna putih cemerlang- motif garis-garis tipis gelap dan kemeja polos hijau viridian.

"Loh?"

Aulion terheran-heran, ia ragu apakah orang yang dihadapannya tersebut adalah Gilang, sang wakil ketua keamanan universitas, lantaran Aulion ragu bagaimana bisa ia ada di sini.

"Bisa kita bicara sebentar?", pinta Gilang, dengan ramah.

*****

Kamar No 1 Asrama 24

Shandy berada dalam keadaan konfusional sesaat setelah terbangun dari tidurnya. Setelah ia mendengar suara kran kamar mandi menyala, ia yakin, meski sebelumnya ia bimbang ia terbangun di Sore hari apa di Malam hari saat ini, tetapi kebiasaan Fiki yang mandi terlampau telat hingga di Malam hari membuatnya sedikit panik ia berada di waktu apa, sedang ia belum shalat Maghrib. Kemudian Shandy memutuskan, keluar dari kamarnya untuk menghirup udara secara lebih eksklusif, dan ia terkejut ketika di luar ternyata langit masih belum gelap, beberapa saat kemudian suara Ricky yang mengumandangkan adzan Maghrib terdengar.

Shandy dengan langkah agak tergesa, kembali ke dalam kamarnya. Ia mengetuk pintu kamar mandi yang di dalamnya ada Fiki.

"Fik, buruan Fik!"

Tak ada jawaban dari dalam, juga tidak ada tanda-tanda aktivitas apapun, hanya suara aliran air dari kran. Shandy langsung beranggapan bahwa Fiki ketiduran di dalam, itu memang sudah menjadi kebiasaan rekan kamarnya. Kalau sudah begini, Shandy tau apa yang harus ia lakukan, yaitu mengambil selimut Fiki yang dapat menutup tubuh Fiki tatkala nanti Shandy mendapatinya ketiduran di bathup. Sambil merem, Shandy mendobrak pintu kamar mandi untuk ke sekian kalinya.

*****

Kantor Pengurus 4 Asrama 24

Aulion mengangguk mengerti dengan paparan yang Gilang kemukakan di hadapannya. Gilang merapatkan kaitan kedua telapak dan jemari tangannya di atas meja.

"Jadi, apa bisa diperkenankan, jika saya dan bang Farhan bertukar kamar di Malam hari saja? ini demi keamanan."

"Kalo ngomong berdua begini ya santai aja nggak papa, nggak usah saya anda," ucap Aulion, kemudian terkikik.

"Aku nggak pernah mendengar kabar keburukan tentang kamu terkait ketika kamu menjalankan tugas, jadi, ya, aku percaya aja sama kamu, hanya saja walaupun begitu, tetap, tetap aja saya minta tolong sama kamu, tolong berhati-hati ya," lanjutnya.

"Oke, gitu aja bang, saya mau berangkat ke Masjid."

"Udah saya bilang nggak usah saya-anda, oh, iya, itu pipinya kenapa?" tanya Aulion menunjuk pipi Gilang yang ada plester luka.

Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang