Kontradiksi

328 43 6
                                    


pukul delapan pagi, seorang anak muda bersurai hitam bergradasi merah bata bangkit dari lelapnya yang benar-benar memudar. Ia mengibaskan selimutnya. Dan belum juga kaki itu benar-benar berpijak ke lantai, ia kebingungan tak mendapati Gilang di atas tempat tidurnya. Ia lalu memerhatikan sekilas kamar mandi yang pintunya terbuka dan di sana kosong. Abang itu kemana? Emangnya udah sembuh?, pikirnya.

****

Sudah dasarnya mahasiswa jika belum tiba waktunya memulai mata kuliah mereka, maka tempat terbaik bagi mereka untuk menanti adalah kantin. kali ini, tepatnya adalah kantin fakultas kesenian, penghuni meja kantin yang paling tenang dan tak seribut yang lain adalah penghuni meja kantin yang terletak paling ujung dan yang hampir menghimpit tembok, di sana sejauh ini masih ditempati oleh dua orang.

"Mendingan elo mempertimbangkan lagi deh kalo mau nyalonin diri jadi ketua BEM fakultas, si Shandy jelas yang menang, secara dia pinter, kalo ngomong ke orang juga omongannya kayak punya pengaruh yang kuat."

"oh... iya, ya, ya, ha, ha, ha."

Orang yang sedang dihasut tersebut malah tertawa, sedang yang tadinya menghasut malah kebingungan.

"Gue paham."

"Maksudnya?"

"Gue paham betul sama Shandy, dia orangnya baik, gue tahu kalau gue bakalan kalah sama dia, secara apalagi gue anggota keamanan."

"Lex, lo nggak usah ngomong kayak gitu napa," sahut Shandy yang tiba-tiba sekaligus entah sejak kapan mendengar pembicaraan mereka.

"Emang betul kok Shan, gue nyalonin diri itu sebenarnya cuma buat pengalaman doang kok, selebihnya, gue yakin elo yang menang."
Nada kepasrahan memang sejak awal telah keluar dari pemilik suara baritone tersebut.

"Lex, lo nggak boleh main-main gitu dong kalo ngomong, ya kalo gue yang menang kalo elo gimana? Apa elo..."

"Tapi secara bersamaan, gue siap dengan segala kemungkinan, lo harus percaya sama gue sepercaya gue sama lo."

Shandy terdiam tak berkedip melihat lawan dialognya, sepersekian detik, ia tersenyum kagum pada lawan politiknya yang menurutnya paling bijak ini. Sedang sang penghasut terlihat jengah dengan sendirinya, seakan menyesal dengan tindakannya.

Arlex tak sengaja menangkap sebuah pemandangan seseorang yang begitu akrab dengannya tengah berjalan cepat menghampirinya. Ia tersenyum.

****

Asrama No. 24

Farhan panik setengah mati, ia berlari menuju kamarnya memastikan keberadaan Fajri. Tetapi ketika ia tiba, Fajri tidak ada. Nafasnya tidak karuan sekarang.

Sebelumnya, seseorang telah memberitahu bahwa orang yang telah ia anggap sebagai adiknya itu pagi ini sedang ada masalah dengan anggota keamanan.

****

Kantin Fakultas Kesenian

"Lang kamu ngapain di sini? Mahasiswa sastra kok, nyasarnya jauh amat ke kantin fakultas kesenian ha, ha, ha, ha."

"Ngapain? Kan gua wakil lo?"

Gilang memasang senyum sederhana yang dipaksakan pada wajahnya yang berkeringat dingin akibat kesehatannya yang belum pulih. Arlex kemudian mengangguk mengerti, Shandy seperti agak terkejut lantaran pemuda yang baru datang tersebut seperti sempat ia jumpai di asramanya.

"Tadi pagi, kalo nggak salah gua sempet lihat lo di asrama dua empat."

Gilang melebarkan matanya yang tadinya sayu.

Guardian in My RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang