Jeno merasa marah atas fakta bahwa dirinya telah ditunangkan secara paksa dengan Karina. Jika bukan karena sang kekasih terbaring koma, ia tak akan sudi bertunangan dengan gadis kaku sepertinya.
Sementara itu, Karina tidak pernah menganggap pertuna...
Jeno yang ditanya pun merasa bingung. "Ehmmm aku bingung. Aku ingin memberikan bunga ini untuk kekasihku yang sakit. Apa bibi ada rekomendasi bunga yang bisa aku bawa?"
Bibi penjaga toko bunga mengangguk. Ia melihat-lihat beberapa buket bunga yang sudah ia buat beberapa jam yang lalu dan memilih mana yang bagus untuk Jeno.
"Bagaimana dengan bunga anyelir ? Bunga anyelir melambangkan sebuah cinta dan kasih sayang. Ini juga melambangkan bahwa kau akan setia menunggunya hingga sembuh total,"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jeno menatap bunga yang ditunjuk oleh bibi itu dan tersenyum saat mendengar penuturannya. Ia akan berusaha setia menunggu Winter hingga sadar kelak. Walaupun harus menunggu beberapa tahun lagi, ia akan tetap setia pada Winter.
"Baiklah. Aku mau," jawab Jeno sambil menyerahkan beberapa lembar uang pada sang bibi.
"Tunggu kembaliannya ya, nak" balas sang bibi sambil menyerahkan sebuket bunga anyelir.
Bunga yang kini berada di tangan Jeno sesekali ia hirup. Ia membayangkan jika Winter tidak koma mungkin ia akan berteriak kegirangan saat menerima bunga ini darinya. Bahkan mungkin gadis itu sudah mengunggah foto bunga ini ke akun sosial medianya dan membanggakan dirinya yang begitu romantis.
Tak lama bibi keluar dan memberikan kembalian pada Jeno. Jeno pun berterima kasih dan segera pergi menuju rumah sakit yang terletak tak jauh dari toko bunga ini.
Ia memilih berjalan karena tadi ia memarkirkan mobilnya di rumah sakit dan baru teringat bahwa ia lupa membeli bunga. Segera setelah itu, ia menyeberang dan berjalam beberapa menit untuk sampai di sebuah toko bunga.
"Hmmm bunga ini harum," gumam Jeno sambil mencium bunga ini. Ia pun mempercepat langkah kakinya agar segera sampai di rumah sakit.
Sesampainya di lobby rumah sakit, matanya melihat ada Xiaojun yang berdiri sambil memeluk seorang perempuan. Ia tak bisa melihat wajah perempuan itu karena wajah perempuan itu tenggelam di dada Xiaojun.
"Siapa perempuan itu?"
.
.
Yangyang menarik tangan Karina begitu saja. "Kita mau kemana sayang?" tanya Karina sambil tetap ditarik oleh Yangyang.
"Ma— ehmmm bibi harus mendengarkan aku bermain piano bersama papa. Ma— ehmmmm bibi maukan?" tanya Yangyang yang hampir dua kali keceplosan akan memanggil Karina dengan sebutan mama.
"Tentu saja mau. Tapi, jangan tarik-tarik bibi seperti ini ya." nasehat Karina yang langsung dilaksanakan oleh Yangyang.
Kini Yangyang tak menariknya, tapi menggandeng tangan Karina menuju sebuah ruangan musik di rumah ini. Biasanya ia hanya bermain biola sendirian, tapi kali ini ia ingin bermain piano di hadapan kedua orang tuanya. Tentu saja ini adalah salah satu rencana agar kedua orang tuanya tetap dekat.
Karina membuka pintu dan terpaku kaget saat melihat Hendery ada disana juga sambil tersenyum padanya dan Yangyang.
"Bibi kenapa diam? Ayo masuk,'' ajak Yangyang. Ia diam-diam tersenyum karena berhasil membuat kedua orang tuanya ada disini.
"Bibi duduk di dekat papa dan kalian dengarkan aku bermain piano ini," pinta Yangyang.
Karina mengangguk kaku dan duduk di kursi sebelah Hendery. Ia menatap lurus pada Yangyang yang sudah duduk dan jari-jemarinya siap menekan setiap tuts piano yang ada.
"Bukankah ini Dejavu?" tanya Hendery yang membuat Karina menengok pada ayah dari putranya.
"Aku dulu bermain piano saat ada perayaan di kampus dan kau datang bersama Yangyang saat itu. Sekarang kita melihat putra kita bermain piano untuk kita berdua," lanjut Hendery.
Karina diam dan mengabaikan perkataan Hendery. Ia memilih tenggelam dalam setiap nada lagu yang diciptakan oleh Yangyang.
Hendery hanya menghembuskan nafasnya lelah saat sadar Karina yang kembali mengabaikannya lagi. Tak apa ia diabaikan demi Yangyang karena ia sudah cukup senang saat Karina rela membolos pekerjaannya hanya untuk menemaninya check up dan juga terapi secara rutin.
Diam-diam Yangyang terpekik senang saat melihat kedua orang tuanya tersenyum bangga padanya dan kedua tangan orang tuanya saling bertautan tanpa mereka berdua sadari.
Tuhan bolehkah Yangyang meminta sesuatu? Yangyang hanya ingin melihat kedua orang tua Yangyang bersatu, batinnya sambil tetap memainkan piano.
.
.
Winwin menatap beberapa orang yang mendatanginya dengan tatapan malas. "Untuk apa kalian datang?" tanyanya.
"Bapa jangan pura-pura tidak tau atau memang tidak tau?" tanya salah satu dari mereka sambil tertawa.
"Jangan pernah mengusik kehidupan Hendery ataupun Karina!" bentak Winwin pada orang-orang itu.
"Sepertinya putraku masih berpihak Karina, bukan?"
Lalu, beberapa orang besar itu menyingkir dan membiarkan sang nyonya besar berjalan mendekat pada Winwin.
"Apa kau tak merindukan ibumu ini?" tanya perempuan itu sambil tersenyum pada Winwin.
"Buat apa aku merindukan perempuan yang telah membuang saya begitu saja?" tanya Winwin.
"Sebuah pertanyaan retoris khas Winwin. Bukankah begitu?"
Winwin menghela nafasnya lelah. "Anda ingin apa? Cepatlah berkata sebelum hari semakin malam,"
Perempuan itu tersenyum dan mengeluarkan sebuah flashdisk yang Winwin yakini adalah flashdisk miliknya yang sudah ia berikan pada Tuan Wong. "Aku harap kau tak bergerak lebih jauh lagi, Winwin. Aku hanya ingin melihat kehancuran keluarga Wong,"