Suasana kali ini sangatlah terik. Matahari tanpa malu-malu langsung bersinar panas. Memanasi dua orang yang tengah berdiri di samping sebuah makam.
"Ma, pernikahan paman Xiaojun dan mama Yerim akan segera dimulai. Kita harus pergi," ucap Yangyang sambil menarik-narik ujung dress milik Karina.
"Paman Yeonjun pasti sudah tenang di atas sana," lanjutnya lagi.Yap, makam ini adalah makam Yeonjun. Kala itu yang tertembak bukanlah Nyonya Wong, melainkan Yeonjun dan juga Hendery. Mereka berdua langsung berlari pada Nyonya Wong saat melihat Tuan Lee ingin menembak Nyonya Wong. Kemudian, keduanya kritis. Sayangnya hanya Hendery yang selamat walaupun harus koma selama dua bulan penuh.
"Aku sudah mengikhlaskan kakak pergi," ucap Karina sambil mengelus makam marmer itu. Ia harus merelakan karena ini sudah dua tahun lamanya dari kejadian penembakan itu. Sudah banyak perubahan disini termasuk perasaannya.
"Paman Yeonjun, Yangyang dan Mama pamit dulu ya. Tunggu kami di surga nanti,"
Karina tersenyum mendengar ucapan Yangyang yang terdengar sangat tulus. Lalu, ia bangkit dan menggandeng tangan Yangyang keluar dari area pemakaman keluarga Choi ini.
Brummm
"Mama, ayo masuk!" ajak Yangyang setelah sebuah mobil berhenti di depan keduanya.Karina masuk ke kursi bagian depan di sebelah Hendery dan Yangyang langsung duduk di belakang.
Yangyang pun langsung mengambil hand sanitizer dan membersihkan tangannya. Lalu, ia mengambil toples kecil dan memakan kripik yang ada di dalamnya.
"Yangyang buka dulu jasmu jika ingin makan agar jasnya tidak kotor,''
"Baik papa," balas Yangyang. Tangannya langsung meletakkan toples ke samping dan membuka jas hitamnya. Jas itu ia sampirkan pada kursi di sebelahnya dan melanjutkan acara makannya yang tertunda.
"Jam berapa Kak Xiaojun dan Yerim menikah?" tanya Karina. Sebenarnya ia hanya diberi undangan dalam bentuk voice note oleh Yerim. Isi voice note pun hanya berisi hari, tanggal, dan tempat pemberkatan saja. Bukankah ini sungguh keterlaluan?
"20 menit lagi seharusnya," jawab Hendery sambil melirik jam tangannya.
"Kita nanti telat gak ya kak?" tanya Karina khawatir. Mana mungkin ia ingin telat di hari paling membahagiakan sahabatnya.
.
.
"Aku harus mati,"
Tangan Jeno mengikat sebuah tali tambang ke atas dahan pohon yang tinggi. Ia sudah tak kuat mendengar hinaan dan tekanan yang diberikan banyak orang padanya. Padahal kan yang melakukan kesalahan adalah orang tuanya, bukan dirinya.
"Kak Jeno!!!" teriak Winter sambil berlari menuju Jeno. Tangannya langsung memeluk tubuh pria itu. Ia merasakan tubuh itu semakin kurus setiap harinya.
"Lepas Win. Kakak mau mati aja," ucap Jeno sambil bergoyang-goyang agar Winter melepaskan pelukannya.
'' Ya udah sana mati! Emangnya apa sih untungnya dari mati selain gak hidup?!" teriak Winter. Kalau dipikir-pikir pertanyaan Winter bukankah lucu karena mati ya artinya tidak hidup lagi.
"Kamu gak ngerti perasaan ka—"
"Aku kurang mengerti apa lagi kak? Aku nerima kakak apa adanya. Sekarang turun dari kursi kecil itu dan kita ketemu dokter Song lagi ya,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Light
FanficJeno merasa marah atas fakta bahwa dirinya telah ditunangkan secara paksa dengan Karina. Jika bukan karena sang kekasih terbaring koma, ia tak akan sudi bertunangan dengan gadis kaku sepertinya. Sementara itu, Karina tidak pernah menganggap pertuna...