Prolog

34.7K 1.3K 18
                                    

Seorang wanita terlihat berlarian di tengah gempuran hujan lebat yang turun ke bumi. Sesekali dia menoleh ke belakang, sepertinya takut pada sesuatu yang sedang mengejarnya. Dari pakaian yang dikenakannya, sepertinya dia baru saja kabur dari sebuah momen penting dalam hidupnya. Begitu melihat sebuah taksi, dia langsung menyetopnya dan bayangannya lenyap bersamaan dengan perginya taksi tersebut.

"Mau ke mana, Mbak?" tanya Sopir taksi sembari melirik Lovata lewat kaca spion.

"Tolong ke Bandara ..." Kalimat Lovata terhenti, teringat kalau itu tempat yang paling mudah dicari oleh anak buah Papinya. "Maaf Pak, kita ke terminal bus terdekat aja."

"Baik, Mbak."

Lovata menoleh kembali ke belakang. Wajahnya sangat cemas, dan pikirannya benar-benar kalut saat ini. Keputusan untuk kabur dari rumah bukanlah sesuatu yang menyenangkan baginya. Terutama karena harus meninggalkan semua yang disayanginya.

"Memangnya mau ke mana, Mbak?" tanya Sopir taksi itu.

"Ke ... Ke rumah saudara saya, Pak." Lovata menjawab asal. Dia berharap Sopir taksi ini tidak lagi banyak bertanya, apalagi hal-hal pribadi. "Tolong cepat sedikit ya, Pak."

Taksi pun sampai di depan sebuah terminal bus antar kota. Lovata bergegas turun dan kembali awas menatap sekitarnya. Dia merasa kesulitan berjalan dengan kain dan kebaya yang dipakainya. Apalagi gara-gara itu, dia menjadi pusat perhatian semua orang.

Masa bodoh!

Lovata tidak punya waktu untuk mampir ke toko pakaian, terlalu berisiko tertangkap oleh anak buah Papinya yang mungkin masih mengejar. Dia sudah berada di dalam, kebingungan harus apa setelah ini. Banyak Bus dengan berbagai macam jurusan, namun langkah membawanya menuju bus arah ke Surabaya, di mana tidak akan ada siapapun di sana yang mungkin menemukannya. Dia pun masuk dan mencari tempat duduk di sebelah seorang Ibu-ibu.

"Neng mau ke mana?" tanya Ibu-Ibu itu dengan ramah.

"Ke rumah saudara saya, Bu." Lovata memeluk tasnya dan mulai gelisah, "kenapa belum jalan ya, Bu?"

"Masih nunggu penumpang, Neng. Paling bentar lagi jalan."

"Oh, iya. Makasih, Bu." Lovata mengangguk resah.

Lovata memperhatikan seorang kondektur yang menagih sesuatu pada para penumpang di depan, namun bukan uang.

"Bu, itu mereka ngasih apa?" tanyanya bingung.

"Tiket, Neng. Neng udah beli tiket, kan?" tanya Ibu-Ibu itu.

"Tiket? Buat apa?"

"Iya. Kalau mau naik Bus ini harus punya tiket dulu."

"Belinya di mana, Bu?"

"Itu di situ banyak loket tiket." Ibu itu menunjuk deretan loket yang padahal tadi Lovata lewati.

"Harganya berapa, Bu?" tanyanya sembari mengeluarkan dompet.

"Dua ratus lima puluh."

Lovata mengeluarkan uang pas dan menaruh dompetnya lagi. Dia pun menaruh tasnya itu ke kursi. "Nitip ya, Bu," mintanya karena takut bila kursi itu diduduki orang lain.

Ibu-ibu itu menoleh ke berbagai arah, tampah aneh. Tapi kemudian mengangguk. "Lewat dari pintu belakang aja biar cepat," katanya.

"Makasih, Bu." Lovata tersenyum dan keluar dari Bus lewat pintu belakang, tanpa lebih dulu memberitahu kondektur Bus.

Ini memang kabur yang telah direncanakan, itu sebabnya Lovata membawa cukup banyak uang di dalam sling bag-nya. Dia memilih salah satu loket tiket yang masih buka, mengantre seperti yang lain.

Saat gilirannya tiba, Lovata tanpa sengaja menoleh ke belakang dan melihat bus yang tadi dinaikinya itu sudah berjalan. Dia langsung berteriak mengejar, namun bus itu tetap jalan dan malah dengan cepatnya menghilang.

"Tas gue," lirih Lovata dengan wajah kesal. Orang-orang hanya menatapnya, tidak ada satu pun yang bertanya atau mendekat. "Sialan," makinya semakin kesal.

Harusnya Ibu-ibu tadi mencegah Bus berangkat karena tasnya masih di sana dan dia belum naik. Memang sulit mempercayai orang asing di dunia ini. Lovata terpaksa merelakan segalanya, keluar dari terminal dengan wajah lesu. Ini pertama kalinya dia naik Bus, jadi tidak paham harus bagaimana.

***

Perut Lovata berbunyi, tenaganya terkuras habis berjalan tanpa tujuan. Dia pun mendekati sebuah warung nasi tak jauh dari sana dan duduk di salah satu kursi.

"Mau pesan apa, Mbak?" tanya Ibu pemilik warung dengan ramah.

Uangnya sudah habis, karena sudah beberapa kali dipakai untuk makan dan beli minum. Tersisa dua ribu rupiah.

"Kenapa, Mbak?" tanya Ibu itu.

"Saya nggak punya uang, Bu!" jujur Lovata. "Tas saya ketinggalan di Bus."

"Ya ampun, Mbak. Kenapa bisa ketinggalan? Sudah pasti raib diambil orang  Jangankan yang suka mencuri diam-diam, copet terang-terangan aja banyak." Pemilik warung itu tampak ikut berduka, tapi tidak berniat menawari makanan gratis.

"Ya udah Bu, maaf saya nggak jadi pesan." Dengan berat hati Lovata pergi dari sana.

Jakarta bukan kota kecil, ditambah tidak memiliki uang Lovata tentu akan menjadi gembel. Seketika dia menyesal telah meninggalkan rumah dan semua kemewahan yang didapatnya selama ini. Andai orang tuanya tidak memaksakan perjodohan itu, dia pasti tidak akan berakhir seperti ini.

"Sial banget sih hidup gue," keluh Lovata sepanjang jalan. Jangankan bisa membeli pakaian ganti, untuk makan saja dia tidak mampu.

Semua rencana yang telah disusun matang sebelum kabur dari rumah pun berantakan. Dia tidak bisa menyewa penginapan. Hingga langit mulai gelap dan langkahnya terasa semakin tak berdaya. Lelah, lapar, mengantuk adalah paket kesialan komplit pada hari ini. Dia pun memilih duduk di depan ruko yang sedang tutup, beristirahat sejenak sambil berpikir langkah selanjutnya.

"Ini akibatnya kalau melawan sama orang tua, Lovata." Lovata menceramahi diri sendiri. Tentu kata menyesal saja tidak cukup menggambarkan bagaimana sialnya dia hari ini.

"Widihh, ada cewek nih."

"Non, malam-malam sendirian, mau ditemenin?"

Lovata sontak berdiri dan menatap cemas pada sekumpulan pria mabuk dengan penampilan amburadul bak seorang preman. Tak ingin cari masalah, dia pun bergegas pergi dari sana.

"Mau ke mana sih, cantik? Sini kita temenin, udah malem." Para preman itu mengikuti.

Lovata tidak mengenal daerah sini, sehingga langkahnya hanya mengikuti arah jalan saja. Semakin dia memasuki jalan-jalan sempit di sana, semakin dia terjebak lebih dalam ke sarang penyamun.

"Neng, sini sama Abang."

Suara pria itu menggema, Lovata memilih bersembunyi di depan toko, antara meja dan dinding. Berjongkok dan memeluk kakinya sendiri. Dia mulai gemetar ketakutan, tapi pasrah pada keadaan. Tubuhnya sudah tidak kuat ke manapun.

"Ayo ikut, gue lagi nggak bisa berantem sekarang." Tiba-tiba seorang pria mengulurkan tangan ke arah Lovata.

Lovata mendongak, menatap pria yang menawarkan bantuan. Dari penampilan pria itu, sudah jelas dia bukanlah orang yang baik. Lihat saja tato aneh di lengan kanannya itu. Pakaiannya persis seperti preman tadi, robek besar di bagian celana. Rambut panjangnya terjuntai di atas pundak. Wajahnya tidak terlihat jelas karena menutupi lampu di atas kepalanya. Tapi dari lebam yang memenuhi tangan pria itu, Lovata tahu dia berurusan dengan orang yang berbahaya.

***

Fresh fresh fresh lagiiiiii

Kenapa post judul baru lagi padahal yang lama aja belum kelar?

Ya, harap maklum aja ya ngikutin mood nulis. Kalau lagi mood yang ini, ya nulis yang ini.

Tapi ini cuma Short Story, gak bakalan panjang2 banget kayak kereta api huhuhu.

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang