Pesta malam ini dihadiri oleh banyak orang, juga terdapat live music yang terus terdengar tanpa jeda. Namun bagi Lovata tidak ada artinya, karena duduk berdua dengan Killian merupakan hening yang mematikan. Pria itu sedang menyesap minuman beralkohol, dengan tatapan lurus dan kosong.
"Aku ikut seneng, kamu akhirnya kembali ke orang tua kamu lagi," ucap Lovata mengusir kekakuan di antara mereka.
"Karena aku sadar, banyak yang akan pergi kalau kita nggak punya apa-apa." Killian menatap Lovata tajam. "Termasuk cinta yang akan menang kalau ada uang."
Lovata balas menatap Killian. Saat mata pria itu tertuju pada perut ratanya, dia pun refleks menutupi dengan tas pestanya. Bisa dia lihat senyum sinis dari bibir Killian.
"Oh iya, aku belum ucapin selamat atas pernikahan kamu. Kayaknya kamu udah bahagia sekarang." Lagi-lagi Killian menyindir.
"Makasih," balas Lovata datar. Dia berusaha menghindari tatapan Killian, agar air matanya tidak jatuh. Entah kenapa rasanya ingin memeluk pria itu dan bercerita mengenai penderitaannya selama ini.
Killian kembali menenggak minuman itu, lalu mengambil satu gelas lagi.
"Jangan minum lagi." Lovata pun mencegah, sebab pria itu harus tetap waras di pesta ini. "Pesta ini diadain buat kamu, nggak lucu kalau kamu mabuk."
"Peduli apa kamu?" Killian mencekal tangan Lovata. "Kamu sama aja kayak yang lain, cuma peduli sama diri sendiri."
"Saat aku pikir kamu akan datang dan mencari aku, nyatanya kamu malah bahagia sama dia." Killian mencekal lebih keras, tanpa sadar menyakiti Lovata.
Lovata tetap bungkam.
"Saat kamu memilih berpisah dan menggugurkan anak aku, saat itu aku nggak akan pernah maafin kamu," desis Killian.
Mata Lovata mulai berkaca-kaca. Dia cepat-cepat memalingkan wajah, mengusap air matanya yang jatuh. "Kamu punya hak untuk membenci aku dan nggak perlu maafin aku," ucapnya sambil memutar tangan agar terlepas dari cekalan Killian.
Mata Killian berkilat marah, tapi kemudian dia tertawa geli. "Kamu emang hebat, Lov. Nggak punya perasaan sedikit pun." Kemudian pergi dari sana.
Lovata dengan cepat mencari tempat aman untuk menangis. Dia sudah tidak tahan lagi. Di Toilet, tangisnya pecah dengan mulut yang dibekap agar tidak mengeluarkan suara.
***
Sepulang dari pesta, Altaf kembali menganiaya Lovata. Dia marah dan melampiaskannya pada sang istri lantaran tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat Killian.
Seperti biasa, Lovata selalu diam diperlakukan seperti ini. Dia tidak takut sama sekali, juga bisa saja melaporkan perbuatan Altaf ini ke pihak berwajib. Namun rasa sakit di hatinya bisa sedikit terlupakan saat tubuhnya lebih menderita. Ini caranya bertahan.
Setelah puas memukuli Lovata, Altaf dengan tanpa rasa bersalah akan pergi. Lalu pulang-pulang dia membawa seorang wanita untuk melampiaskan hasrat. Baginya, Lovata sudah sangat kotor dan tidak layak untuk disentuh.
Tak lama kemudian, salah seorang Asisten rumah tangga di sana masuk dan membantu Lovata untuk berdiri. Sama seperti Mbok Wawa, Bik Dara pun sangat baik padanya.
"Nyonya kenapa diam aja? Tuan Altaf itu sudah keterlaluan, kok masih bisa tahan?" tanya Bik Dara dengan air mata mengalir deras.
"Ada yang lebih sakit dari ini, Bik. Jadi ini belum seberapa," lirih Lovata. Dia meringis saat berhasil berdiri, perutnya terasa ngilu akibat tendangan Altaf tadi.
"Sebaiknya Nyonya pergi dari sini. Tinggalkan Tuan Altaf, dia bukan manusia," bujuk Bik Dara.
"Aku udah nggak punya tujuan, Bik. Mau ke mana? Bahkan kalau aku ceritain ini ke Mami sama Papi, mereka juga akan nyalahin aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate (Tamat)
RomanceLovata kabur di hari pernikahannya. Di tengah pelarian, uangnya raib dicuri orang. Tidak cukup sial sampai di situ, Lovata pun harus kejar-kejaran dengan preman yang berniat jahat padanya. Di saat nyaris menyerahkan diri pada kesialan, tiba-tiba dat...