Lovata mengurung diri di kamar, tidak mau bicara pada siapa pun termasuk Maminya. Meski di sini kondisinya jauh lebih baik, tetap saja dia tidak merasa senang. Dia lebih suka di rumah susun yang kumuh, dekat dengan Killian. Air matanya tak berhenti menetes sejak tadi, memikirkan nasib sang kekasih yang entah bagaimana.
"Maafin aku, Kill. Semua di luar rencana kita," lirihnya begitu sedih.
Satu hal yang juga disesali Lovata adalah lupa membawa ponsel. Dia hanya punya kenangan mereka di sana untuk bisa dilihat saat rindu. Sekarang, yang tersisa hanyalah memori di otaknya. Berisi penuh tentang Killian.
Cklek.
Pintu kamarnya dibuka dari luar.
"Sayang, ya ampun akhirnya kamu pulang." Altaf melangkah lebar dan berniat memeluk, tapi ditolak oleh wanita itu.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Lovata ketus.
"Aku kangen sama kamu," jawab Altaf. Saat berusaha menyentuh, lagi-lagi mendapatkan penolakan.
"Aku mau sendiri, kamu pergi dari sini," usirnya menunjuk pintu.
"Lov, aku mohon jangan marah. Let's start over, aku janji akan berubah." Altaf memohon.
"Berubah? Telinga aku kayaknya udah capek deh denger kata itu." Lovata tersenyum sinis.
"Lov, kali ini aku serius. Aku bisa buktikan ke kamu."
"Aku udah muak sama kamu, jadi berhenti mengganggu aku lagi." Lovata mendorong Altaf saat pria itu hendak mendekat lagi.
Altaf yang seorang tempramen, tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Lovata. Dia pun langsung menarik tangan wanita itu dengan kasar. "Kamu pikir bisa menolak aku sekarang? Nggak bisa sayang. Papi kita udah sepakat, pernikahan akan dilakukan secepatnya." Tersenyum angkuh.
"Kamu bahkan nggak punya harga diri, Altaf. Aku udah menolak berkali-kali, tapi kamu tetap nggak tahu malu."
"Kamu benar-benar menantang aku, Lov. Kamu pikir aku takut, hah?" Tiba-tiba saja Altaf menarik kemeja Lovata dengan kasar hingga semua kancingnya terlepas.
Lovata diam saja, tidak berusaha menutupi tubuhnya. Sengaja, agar Altaf melihat sesuatu yang akan membuka mata pria itu lebar-lebar.
"Apa ini?" Altaf menarik tubuh Lovata mendekat, menyingkap kemeja itu untuk bisa melihat lebih jelas tanda-tanda keunguan yang nyaris pudar di leher dan dada wanita itu.
"Kamu pasti tau ini tanda apa," sindir Lovata.
Mata Altaf berapi-api. Napasnya memburu hingga dadanya naik turun. "Siapa yang melakukan ini, Lov? Gembel yang selama ini menampung kamu?" tanyanya begitu marah.
Lovata tersenyum sinis dan menepis tangan Altaf, menutupi tubuhnya lagi. "Orang yang kamu sebut gembel itu udah selangkah lebih unggul dari kamu," ejeknya dengan sengaja.
Altaf menjambak rambut Lovata hingga kepala wanita itu mendongak. "Bilang ke aku kalau kamu masih virgin," tuntutnya.
Lovata malah tertawa di tengah sakitnya akar-akar rambut yang semakin tertarik.
"Aku nggak percaya. Kamu nggak pernah mau kasih itu ke aku, mana mungkin kamu kasih semudah itu ke seorang gembel."
"Ada banyak perbedaan di antara kalian yang membuat aku dengan sukarela ngasih segalanya ke dia."
"Apa? Apa lebihnya dia dari aku? Cuma seorang petinju ilegal, bahkan asal usulnya aja nggak jelas. Apa hebatnya dia dibanding aku?!" Altaf menarik rambut Lovata semakin kuat. "Apa yang membuat kamu lebih milih tidur sama gembel itu?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate (Tamat)
RomanceLovata kabur di hari pernikahannya. Di tengah pelarian, uangnya raib dicuri orang. Tidak cukup sial sampai di situ, Lovata pun harus kejar-kejaran dengan preman yang berniat jahat padanya. Di saat nyaris menyerahkan diri pada kesialan, tiba-tiba dat...