Bab 3. Kisah Mereka

13.7K 1.3K 18
                                    

Lovata menyiapkan handuk kecil dan batu es ke dalam baskom. Dia membawanya pada Killian yang sudah menunggu di sofa. Pria itu shirtless, sama seperti tadi saat sedang tinju. Kalau tadi Lovata lebih fokus pada adegan gontok-gontokan, kalau sekarang matanya terpana melihat otot-otot berjejer rapi di perut pria itu.

"Mau sampai kapan ngeliatin badan gue?" tanya Killian.

Lovata yang kaget langsung duduk dan menaruh baskom. Dia merasa malu, pasti wajahnya sedang merah saat ini. Diambilnya beberapa batu es dan dimasukkan ke dalam handuk kecil. Dimulai dari memar di bawah rusuk Killian, tangannya gemetar saat ini.

Beberapa menit kemudian ...

"Emang nggak sakit?" tanya Lovata penasaran. Killian sangat tenang, padahal memarnya cukup banyak.

"Udah biasa," jawab Killian.

"Udah biasa dipukulin makanya nggak sakit?"

"Maybe."

"Tapi kenapa meski kita udah biasa nggak makan, tetep aja laper?" Entah itu pertanyaan tergoblok macam apa hingga bisa membuat Killian tertawa. Lovata semakin terpana.

Ekspresi Killian benar-benar lembut saat ini. "Kalau nggak keberatan, gue boleh tau kenapa Lo kabur dari rumah?" tanyanya. Dia sudah tau intinya, tapi tidak merasa puas.

"Gue dijodohin sama anak dari temen bokap gue." Lovata tidak keberatan menceritakannya.

"Lo nggak kenal sama anaknya?"

"Justru karena gue kenal, makanya gue nggak kau menikah sama tuh orang. Gue udah jelasin ke bokap gue kalau Altaf itu bukan pria yang baik. Gue sering lihat dia bawa wanita ke hotel, dan selalu gonta-ganti."

"Bokap Lo nggak percaya?"

"Percaya. Tapi katanya itu wajar, kenakalan remaja. Nanti kalau udah menikah juga bakalan berubah."

Killian diam kali ini.

"Selain itu, Altaf juga orangnya kasar. Dia sering mukul gue kalau lagi marah. Hebatnya, tetep aja orang tua gue suka sama dia."

Kedua tangan Killian mengepal.

"Sampai akhirnya gue mikir, baru sebatas bertunangan aja dia udah berani main tangan. Atur-atur hidup gue. Makanya gue kabur di hari pernikahan kami, karena gue nggak mau makin menderita." Air mata Lovata menetes.

Killian mengulurkan tangan memeluk wanita itu. "Lo udah lakuin hal yang bener buat hidup Lo," ujarnya memenangkan.

"Orang tua gue pasti marah banget tau gue kabur. Mereka pasti malu sama keluarga Altaf dan tamu yang lain." Tangis Lovata makin pecah. Seperti apapun orang tuanya, dia tetap menyayanginya.

"Mereka mungkin marah, tapi pasti juga khawatir. Lo mau gue anter pulang?"

Lovata melepaskan pelukan dan menggeleng. "Kalau gue pulang sekarang, mereka pasti bakalan nikahin gue. Gue nggak mau nikah sama Altaf," tolaknya.

"Tapi hidup dengan keadaan yang kayak gini keras, Lov. Lo bisa lihat sendiri gimana kondisinya."

"Gue lebih bahagia kayak gini."

Killian menatap Lovata dalam.

"Please, gue cuma punya Lo saat ini. Gue tau emang ini rasanya aneh, kita baru kenal satu minggu, tapi demi apapun gue nyaman ada di sini. Gue tau Lo orang baik, itu sebabnya sedikit pun gue nggak merasa takut ada di dekat Lo."

"Gue nggak akan minta Lo pergi, tapi kalau suatu saat Lo mau pergi gue nggak akan larang. Selama itu jelas dan aman buat Lo."

Lovata tersenyum mendengarnya. Dia kembali memeluk Killian, dada bidang itu terasa sangat nyaman. "Makasih Kill, gue aman selama bersama Lo."

Killian tersenyum.

***

Lovata bukanlah tamu yang tidak tahu diri. Tinggal di rumah Killian membuatnya harus bekerja, meski hanya membereskan rumah atau mencuci pakaian pria itu. Meski Killian selalu melarang, Lovata tetap melakukannya. Semenjak ada Lovata, rumah ini tidak lagi terlihat seperti tempat penampungan.

Tok. Tok. Tok.

"Rajin amat, Neng."

"Eh, Ibu. Masuk, Bu." Lovata menaruh sapu ke dinding dan menyambut tetangganya itu.

Namanya Bu Ida, seorang Janda tanpa anak yang hidup sendirian di unit sebelah. Bu Ida sangat baik pada mereka, sering diberi makanan kalau sedang masak banyak.

"Akhirnya ada yang ngurusin nak Lian," ucap Bu Ida sambil menatap puas dengan keadaan rumah itu sekarang.

"Emang ... Selama ini nggak ada yang ngurus dia, Bu?" Lovata ingin menyelidiki tentang Killian, mumpung orangnya belum pulang dari bertinju.

"Ya, mana ada. Dia terlalu sibuk, sampai nggak punya waktu untuk mencari pacar."

Hati Lovata diliputi kebahagiaan.

"Kamu bukan sepupunya, kan?" tanya Bu Ida dengan tatapan jahil.

Wajah Lovata sontak cemas.

Bu Ida tertawa. "Wong Killian itu sebatang kara. Mana mungkin Ibu percaya saat dia bilang kamu itu sepupunya."

"Dia nggak punya keluarga di sini, Bu?" tanya Lovata.

"Kalau di sini sih kayaknya nggak punya, Neng. Soalnya selama lima tahun dia tinggal di sini, nggak satu kali pun Ibu lihat dia didatangi oleh keluarganya." Ibu Ida menghela nafas. "Kalau ditanya dia sebenernya berasal dari mana, pasti nggak mau jawab. Makanya kita di sini anggap dia sebatang kara."

Lovata jadi penasaran jati diri Killian. Mungkin suatu saat dia akan bertanya. "Bu, kira-kira kalau saya tinggal di sini, apa nggak akan bikin masalah untuk Kill ... Lian?"

"Tenang aja Neng, tempat ini aman untuk orang-orang seperti kita." Bu Ida tertawa. "Banyak kok yang seperti kalian," bisik Bu Ida.

Wajah Lovata merona, seakan dia dan Killian di sini sepasang kekasih yang tinggal bersama saja.

"Semua warga di rusun ini punya masalahnya masing-masing. Itu sebabnya kita di sini berpegangan tangan, saling membantu kalau ada masalah. Neng juga kalau ada apa-apa jangan segan-segan minta pertolongan."

Lovata mengangguk.

"Tapi Ibu penasaran, kalian ini sebenarnya kenal di mana?"

"Dia berjasa banget buat hidup saya, Bu. Kalau nggak ada dia, nggak tau deh gimana jadinya."

Bu Ida mengangguk. "Lian emang anak yang baik. Walau wajahnya kadang terlalu kaku, tapi ya ..."

"Bener banget! Dia tuh datar, irit ngomong lagi." Lovata membeberkan.

Bu Ida tertawa. "Ya begitulah anak itu, harus tahan-tahan ngadepin sifatnya. Padahal Ibu udah sering bilang, Lian kamu itu harus rajin senyum biar banyak cewek yang nemplok."

Lovata tertawa. Meski begitu dia terperosok ke dalam lubang kenyamanan yang teramat dalam pada sosok Killian. Sampai tidak ingin menggali keluar, selamanya seperti ini saja.

Sepanjang malam Bu Ida menemani Lovata mengobrol. Mereka sudah sangat akrab, hingga tak segan-segan saling menceritakan kisah hidup masing-masing. Dari Bu Ida, Lovata tahu tempat seperti apa ini. Memang terdengar mengerikan, tapi ternyata ada alasan di balik segala hal yang menakutkan itu.

Terutama kisah Bu Ida, yang mana beliau terpaksa harus melarikan diri dari kejaran reintenir lantaran suaminya sudah meninggal. Mengasingkan diri di tempat ini dan dilindungi oleh semua penghuni rusun. Saling melindungi.

***

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang