Bab 15. Semakin Rindu

10.5K 849 16
                                    

Lovata dengan cepat membuka pintu kaca yang terhubung dengan balkon kamarnya. Menarik Killian masuk sebelum dilihat oleh para penjaga di bawah. Ditutupnya kembali pintu dan tirai itu, lalu berlari mengunci pintu kamarnya. Takut bila sang Mami kembali, atau malah Papinya yang datang.

"Kill, gimana caranya kamu bisa naik ke atas sini? Kalau ketahuan gimana?" cecar Lovata begitu cemas.

"Kayaknya aku cocok jadi sindikat maling kelas kakap," canda Killian.

"Aku serius!" Lovata memukul pundak Killian. "Nekat banget sih kamu."

"Aku pikir ada yang kangen dan pengen ketemu lagi. Kalau gitu aku pulang aja deh." Killian membalikkan badan.

"Ihhh." Lovata memeluk Killian dari belakang. "Udah pertaruhin nyawa sampai ke sini, kenapa malah mau pergi?"

"Habisnya nggak ada yang kangen. Malah dimarahin."

"Kangen," rengek Lovata.

Killian tersenyum dan berbalik. "Aku yang lebih kangen, makanya senekat ini," ujarnya sambil mengusap wajah Lovata.

"Sampai keringetan gini." Lovata ikut mengusap wajah Killian.

Killian mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar Lovata. "Kamar kamu gede banget, kalah rumah aku di rusun. Enak ya di sini, nggak panas?" tanyanya sedikit mengejek.

"Aku lebih suka di sana," jujur Lovata.

"Bodoh." Killian menyentil kening Lovata. Dia berjalan-jalan melihat foto-foto yang terpajang, juga berbagai macam penghargaan dan piala yang diperoleh wanita itu.

"Ternyata kamu banyak bakat, ya? Melukis, main hampir semua jenis alat musik, juara olimpiade Kimia, Fisika sampai Matematika. Terus ini ..." Killian membaca satu persatu piala.

"Aku punya satu bakat baru setelah kabur dari rumah," ucap Lovat.

Killian membalikkan badan. "Apa?" tanyanya.

"Membuat seorang petinju berhati dingin jatuh cinta, itu bakat yang luar biasa." Lovata tertawa setelah mengatakannya.

Killian balas tertawa.

Berada di dalam kamar, berduaan dan sembunyi dari orang lain, agak membuat keduanya canggung. Sejenak mereka saling lirik, tapi kemudian memalingkan wajah ke arah lain untuk menutupi malu.

"Kamu kok bisa tau rumah aku?" tanya Lovata.

"Kamu pernah bilang."

"Oh, ya?" Kening Lovata berkerut.

"Nyarinya agak susah, masuk ke area sini pun berasa mau nemuin presiden. Diinterogasi abis-abisan sama satpam kompleks."

Lovata tertawa geli. "Terus gimana caranya bisa masuk?" tanyanya penasaran.

"Terpaksa bohong, bilang kalau aku anak dari salah satu pemilik rumah di sini."

"Serius? Emang Satpamnya percaya gitu aja?" tanya Lovata sangsi.

"Becanda," kekeh Killian. "Aku kasih uang, makanya bisa masuk."

"Wah, parah tuh satpam kompleks. Kalau misalnya kamu beneran kawanan rampok gimana?"

"Satpamnya tau kalau aku cuma akan rampok hati kamu."

Wajah Lovata sontak bersemu. "Apaan sih Kill, kok jadi alay gini." Sambil menunduk.

Lovata terkekeh.

Semesta tampaknya tidak ingin mereka berpisah, hingga hujan tiba-tiba turun begitu deras.

"Kalau kamu pengen aku pulang, usir aja." Killian tidak mau Lovata semakin sulit. "Kita udah ketemu, kangennya udah lumayan terobati sekarang."

Lovata menarik ujung Hoodie Killian dan menggeleng. "Kamu di sini sampai aku tidur, bisa?" mintanya.

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang