Sudah tiga hari Killian tidak juga kembali, tanpa kabar berita sama sekali. Lovata sudah lelah menangis, menghabiskan energi memikirkan bagaimana nasib pria itu. Dia masih harus mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci pakaian, memasak juga menyapu. Apapun itu akan dia kerjakan asal bisa mengurangi kekosongan.
"Rumah ini kecil, tapi berasa sepi banget." Lovata mengesah. Peluh di keningnya menetes, cuaca malam ini sangatlah panas tapi dia tidak menyalakan kipas angin. Dipindahkannya piring-piring yang telah selesai dicuci ke rak piring.
Tiba-tiba saja gagang pintu turun naik, dimainkan oleh seseorang di luar. Jantung Lovata berdetak cepat, antara takut dan juga berharap. Hanya satu orang yang memiliki kunci cadangan rumah ini.
Cklek.
Lovata memegang erat piring di tangannya ketika pintu itu dibuka oleh seseorang dari luar. Langkah berat mulai menapaki rumah, terhalang oleh partisi lemari.
PRANG!
Piring di tangan Lovata terlepas saat sosok Killian benar-benar muncul. Air matanya menetes, dan dia tidak bisa menahan diri untuk berlari memeluk pria itu. Menangis sekeras-kerasnya.
Killian membalas pelukan itu tak kalah erat. "I'm sorry," lirihnya.
"Kamu ke mana aja? Kenapa nggak pulang-pulang? Aku pikir kamu pergi ninggalin aku," isak Lovata.
"Maafin aku. Maaf udah bikin kamu khawatir." Killian membawa Lovata semakin erat ke dalam pelukannya. Dihirupnya aroma rambut wanita itu dalam-dalam, merindukannya.
Lovata melepaskan pelukan, dan menatap Killian dari atas hingga bawah. Terdapat banyak lebam yang sudah mulai memudar di wajah tampannya, juga perban di pergelangan tangan. "Ini kenapa?" tanyanya sembari memegang tangan Killian itu.
"Cuma kecelakaan kecil," jawab Killian. Diangkatnya wajah Lovata dan menempelkan kening mereka. "Sekarang aku sadar, kalau aku nggak bisa kehilangan kamu. Aku nggak akan pernah bisa ..." ucapnya penuh keperihan.
"Aku nggak akan ke mana-mana," janji Lovata. Dia memejamkan mata, meneteskan air matanya.
"Terima kasih karena tetap di sini menunggu aku. Aku bener-bener takut kamu pergi."
"Ceritakan apa yang terjadi, Kill." Lovata kembali menatap wajah pria itu. Dirabanya setiap lebam yang masih terlihat. Sudut bibir yang terluka. "Kenapa bisa kayak gini?" tanyanya begitu sedih.
"Itu nggak penting sekarang." Killian menarik dagu Lovata ke atas dan mencium bibirnya.
Lovata larut di dalam rindu yang sama, membuatnya lupa diri dan membalas ciuman itu sama dalamnya. Dirangkulnya leher Killian, semakin merapatkan tubuh mereka.
keduanya terengah-engah setelah melepaskan ciuman. Killian menyatukan kening mereka, "Kamu inget nggak sewaktu aku bilang mau kasih kamu kejutan?" tanyanya.
Lovata mendongak. "Iya aku inget, dan kamu malah nggak pulang setelah itu." Cemberut.
"Aku mau tepati janji itu sekarang. Kamu mau lihat?"
"Mana?" tanya Lovata tidak sabaran.
"Kejutannya di bawah."
"Di bawah?" Lovata mengerutkan kening.
"Aku taruh kejutannya di bawah, karena nggak bisa dibawa naik."
"Aku mau lihat sekarang juga." Lovata merangkul lengan Killian. Mereka pun keluar dan turun ke bawah.
"Eh, Bang Killian." Seorang wanita yang baru saja pulang bekerja, menyapa Killian dengan gaya genit.
"Udah pulang Mir?" tanya Killian basa-basi. Dia cukup mengenal Mira, karena beberapa kali pernah mengobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate (Tamat)
RomanceLovata kabur di hari pernikahannya. Di tengah pelarian, uangnya raib dicuri orang. Tidak cukup sial sampai di situ, Lovata pun harus kejar-kejaran dengan preman yang berniat jahat padanya. Di saat nyaris menyerahkan diri pada kesialan, tiba-tiba dat...