Killian pulang dalam keadaan penuh lebam seperti biasanya. Lama-lama Lovata terbiasa, tidak lagi terlalu ngeri melihatnya. Dia mengobati setiap luka dan lebam di tubuh pria itu dengan telaten. Selama itu pula Killian menatap Lovata tanpa sedetikpun berpaling.
"Udah selesai. Sekarang waktunya makan," ujar Lovata sembari menutup salep luka.
Killian memakai kausnya kembali. Dia pun duduk di kursi makan, menunggu Lovata mengambilkan makanan untuknya. Momen seperti ini benar-benar terasa menyenangkan baginya, seperti memiliki seseorang yang mengurus hidupnya.
"Makan yang banyak ya, energi kamu pasti terkuras hari ini."
"Lo nggak makan?" tanya Killian saat melihat Lovata malah pergi.
"Gue udah makan tadi." Lovata duduk di sofa dan membentang koran selebar-lebarnya.
Killian makan sambil memandang wanita itu. "Lo malem-malem baca koran, takut lupa cara baca tulis?" ledeknya.
"Sialan," umpat Lovata. "Gue lagi cari kerja tau." Dia melingkari lowongan yang pas dengan pena.
"Cari kerja?"
Lovata mengangguk. "Gue nggak bisa terus-terusan numpang hidup sama Lo. Utang gue tambah banyak nanti. Ntar kalau udah sebanyak harga mobil Lo tagih lagi," canda Lovata.
Killian lebih dulu menghabiskan makannya. Barulah setelah itu mendekati Lovata. Diliriknya semua lowongan kerja yang dilingkari wanita itu, rata-rata di perusahaan besar. "Lo yakin bakal diterima?" tanyanya sangsi.
"Heh, gue ini lulusan Sarjana. IPK gue tinggi. Di Kampus, gue termasuk Mahasiswa cerdas, jadi nggak mungkin ada perusahaan yang nolak gue."
"Terus ijazah Lo mana?"
Seketika Lovata sadar kalau dia tidak memiliki bukti. Bukan untuk Killian, tapi pada perusahaan yang akan dilamarnya. "Ya ampun, gue nggak sadar kalau nggak punya apa-apa," ucapnya menepuk jidat.
Killian mengulum senyum. Senang karena itu berarti Lovata tidak jadi bekerja. "Udah, di rumah aja. Lo beresin rumah dan masakin gue, itu udah lebih dari cukup buat bayar utang."
Lovata menggeleng. "Gue nggak mau terus-terusan kayak gini." Dia pun kembali membaca lowongan dari atas. Ada berbagai macam lowongan untuk yang tidak punya ijazah, salah satunya Sales promotion girl.
"Terserah lo deh." Killian tidak bisa melarang Lovata terlalu, memangnya dia siapa?
Lovata begitu bersemangat, tidak putus asa sama sekali. Dia yakin dengan usaha yang sungguh-sungguh, pasti hasilnya pun maksimal.
Di sisi lain, Killian menjadi tidak tenang. Dia mencemaskan Lovata. Wanita itu belum mengenal betul seperti apa hidup di Jakarta ini. Salah langkah sedikit saja, bisa masuk ke dalam kandang singa.
"Kill, menurut kamu penampilan aku masih cocok nggak buat jadi SPG?"
"Nggak." Killian menjawab ketus.
Lovata menoleh, hendak protes. Tapi pria itu sudah masuk ke dalam toilet. "Dasar, nggak punya selera. Pelit banget ngeluarin suara," omelnya.
"Gue denger!"
***
Meski sikapnya terkadang dingin, Killian ternyata sangat perhatian. Pria itu rela mengantar Lovata memasukkan lamaran kerja dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia juga dengan setia menunggu saat wanita itu sedang diinterview.
Lovata selesai di tempat ke-lima, wajahnya tertunduk lesu seperti sebelumnya. Killian sudah tahu, pasti tidak diterima lagi. "Udah gue bilang di rumah aja, ngapain cari kerja segala." Ini caranya menghibur hati Lovata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate (Tamat)
RomanceLovata kabur di hari pernikahannya. Di tengah pelarian, uangnya raib dicuri orang. Tidak cukup sial sampai di situ, Lovata pun harus kejar-kejaran dengan preman yang berniat jahat padanya. Di saat nyaris menyerahkan diri pada kesialan, tiba-tiba dat...