Bab 1. Superhero

17.7K 1.5K 48
                                    

Lovata mengedarkan pandangan ke ruangan berukuran kecil yang kini telah menyelamatkan hidupnya dari kesialan. Meski jauh dari kata mewah, tapi tempat ini lebih baik daripada berada di jalanan. Banyak poster petinju yang tertempel di dinding, beserta sepasang sarung tinju warna merah dan segala pretelan lainnya.

Ya, memutuskan ikut dengan pria asing yang tidak dikenal adalah keputusan paling tidak masuk akal yang Lovata ambil beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba saja tangannya menyambut uluran tangan pria itu di saat suara preman tadi semakin dekat. Lalu tubuhnya dibawa lari seperti angin, dan sampailah mereka di sini.

"Ini diminum dulu." Pria itu mengulurkan secangkir air untuk Lovata.

Lovata menerimanya, meski ragu. "Makasih," ucapnya tanpa berniat meminum air itu. Siapa tahu ada obat bius di dalamnya, kan?

Pria itu menarik kursi, kemudian duduk di hadapan Lovata. Lebih dulu dia mengambil sebuah karet gelang dan menghimpun rambut panjangnya itu menjadi satu, lalu mengikatnya.

Seketika Lovata terpana, wajah pria yang menyelamatkannya ini sangatlah tampan. Jauh berbeda dengan yang dia pikirkan sebelumnya. Tubuhnya berotot, meski banyak lebam di kulitnya. Dan pria itu sedang menatapnya intens saat ini. Lupa soal obat bius di minumannya, Lovata menenggak habis air itu karena terlalu gugup.

"Lo ngapain keliaran malem-malem kayak gini? Pakai baju kayak gini lagi. Mau riset pementasan drama?" tanya pria itu. Tidak melucu sama sekali, karena ekspresinya tetap datar.

Lovata meringis. Hidupnya memang sedang dipenuhi drama saat ini. "Gue kabur dari rumah. Ini kebaya pernikahan yang harusnya gue pakai duduk di pelaminan," jujurnya.

Pria itu diam sejenak, tetap menatap Lovata dengan tatapan yang begitu intens. "Kalau mau kabur, bikin perencanaan yang matang. Bukan keliaran di jalan kayak gini. Kalau nggak ada gue, mau jadi apa Lo tadi?" Kebetulan pria itu sedang turun dari mobil angkutan saat melihat Lovata dikejar oleh para preman tadi. Dia pun mengikuti.

"Lo pikir gue nggak ngerencanain apa-apa? Gue bawa banyak uang, cukup kali buat cari penginapan selama satu tahun. Makan sampai kenyang. Bahkan ..." Entah apalagi selanjutnya, Lovata lupa dengan rencana-rencananya itu.

"Terus?" Pria itu ingin tahu kelanjutannya.

"Ya ... Tas gue ketinggalan di Bus, pas gue lagi beli tiket. Makanya gue nggak bisa cari penginapan, apalagi makan." Lovata ingin menangis rasanya membayangkan itu semua.

"Itu namanya bego."

Mata Lovata seketika membulat. "Gue naruh tas gue di kursi, biar orang-orang tau kalau kursi itu ada yang punya. Soalnya Busnya udah penuh, nggak ada sisa kursi lain lagi." Wajah Lovata gusar saat mengingatnya. "Lagian gue udah titip ke Ibu-ibu di samping kursi gue, harusnya dia bilang dong ke sopirnya kalau gue belum naik."

Pria itu menghela nafas. Dia pun berdiri dan mengambil bungkusan plastik yang dibawanya sejak menolong Lovata tadi. Diambilnya sebuah piring, memindahkan nasi dalam bungkusan itu di sana. Lalu sendok dan segelas minuman. Diberikannya itu semua pada Lovata.

Lovata menatap lapar pada makanan sederhana yang disajikan, tapi terlalu gengsi untuk memakannya.

"Lo boleh tinggal di sini sampai tau mau ke mana setelah ini. Soal makan gampang, asal Lo nggak banyak milih gue bisa kasih tiga kali sehari."

Seketika Lovata merasa pria ini adalah Superhero. Dia terharu.

"Satu lagi, jangan berisik." Pria itu berdiri setelah mengatakannya.

"Perasaan gue udah paling diem sejak tadi," gerutu Lovata. Setelah pria tadi entah ke mana, Lovata pun menyantap makanan itu dengan lahap. "Ini emang enak, atau karena gue laper?" batinnya.

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang