Killian menunggu di depan ruang operasi dengan penuh kecemasan. Sudah satu jam Lovata berada di ruangan itu, namun dokter belum juga keluar memberikan kabar. Sejak tadi dia terus menyalahkan diri sendiri, karena secara tidak langsung semua disebabkan oleh keegoisannya, hingga Lovata terkena imbasnya.
Lampu di atas pintu padam, tak lama dokter keluar. Killian dengan cepat mendekat. "Dok, bagaimana keadaan Lovata?" tanyanya.
"Pasien masih belum siuman, tapi kondisinya stabil. Beruntung, peluru tidak sampai mengenai organ vitalnya," ujar sang dokter. "Memar-memar di beberapa bagian tubuhnya juga sudah kami tangani."
Killian meraup wajahnya, baru bisa bernapas lega sekarang. "Apa Lovata akan baik-baik aja, dok?" tanyanya lagi.
"Ya, tinggal menunggu proses pemulihannya saja. Meski kondisi pasien cukup baik, tetap saja ada semacam trauma yang mungkin membutuhkan penanganan lebih lanjut."
"Saya mohon lakukan apapun yang terbaik untuk Lovata, dok." Killian memegang tangan dokter, memohon.
"Itu sudah menjadi tugas kami, Pak." Dokter tersenyum dan menepuk pundak Killian.
"Terima kasih, dok." Killian balas tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Bapak baru bisa menemui pasien setelah pindah ke kamar biasa." Sekali lagi dokter menepuk pundak Killian dan pergi.
Killian mencoba melihat ke dalam dari pintu yang sedikit terbuka. Bisa dia lihat wajah Lovata yang seperti sedang tidur, namun sangat pucat. Lalu seorang perawat di dalam menutup pintu dan dia tidak bisa melihat apa-apa lagi.
"Lovata!" Terdengar suara wanita berteriak, diikuti langkah cepat mendekat.
Killian menoleh, Candra dan Tissa baru saja datang. Dia langsung membuang muka, masih menyimpan rasa sakit hati untuk keduanya.
"Bagaimana keadaan Lovata? Apa dia baik-baik saja?" tanya Tissa tak mampu menahan diri meski tahu Killian sangat membencinya.
"Dia baik-baik aja," jawab Killian datar.
"Apa yang terjadi?" tanya Candra menatap Killian dengan serius.
"Harusnya saya yang bertanya pada anda, Pak Candra. Apa anda selama ini membiarkan Lovata disakiti oleh suaminya?"
"Apa maksud kamu?" tanya Tissa dengan mata basah, terbelalak.
"Apa kalian nggak tau selama ini Altaf melakukan kekerasan pada Lovata?!" teriak Killian marah.
Candra dan Tissa sangat terkejut mendengarnya.
"Kalian orang tuanya, apa sedikit aja kalian nggak bisa lihat kalau selama ini dia menderita? Lovata sering disiksa oleh suaminya," desis Killian.
Candra menggeleng, begitu pun Tissa. "Kamu pasti salah paham, Altaf mana mungkin melakukan hal seburuk itu pada Lovata. Dia sangat mencintainya," tepis Tissa.
"Selama ini Lovata nggak pernah mengeluh, jadi mustahil Altaf sampai melakukan itu," timpal Candra juga.
"Mas Killian nggak bohong, Pak." Tiba-tiba dua orang asisten rumah tangga di kediaman Altaf muncul. "Kami saksinya kalau selama ini Nyonya Lovata selalu disiksa oleh Tuan Altaf. Entah apa alasannya, Nyonya Lovata selalu dipukuli."
"Bahkan setiap malam, Tuan Altaf selalu membawa perempuan lain ke rumah," tambah Bik Dara. Mereka datang ke rumah sakit setelah dari kantor polisi, menjadi saksi atas tindak kekerasan Altaf selama ini.
Kedua tangan Killian mengepal dan rahangnya mengeras. "Brengsek!" makinya sembari memukul dinding dengan keras. Saking kuatnya, tangannya itu sampai terluka dan menempelkan darah di cat putih tembok.
Tissa rasanya mau pingsan, nyaris saja tubuhnya menyentuh lantai yang dingin kalau tidak dipegangi oleh Candra.
"Tuan Altaf sangat kejam, kasihan Nyonya Lovata."
Candra memegangi dadanya yang langsung terasa nyeri. Tubuhnya ambruk saat itu juga, disertai jerit histeris Tissa yang memanggil dokter.
***
Killian duduk di kursi samping ranjang Lovata. Memegang tangan wanita itu, dan menatapnya lekat. "Bukan ini yang aku harapkan saat memutuskan kembali ke orang tua aku, Lov. Aku pikir kamu bahagia sama dia dan ngelupain aku, itu sebabnya aku datang untuk balas dendam. Aku mau bikin kamu menyesal karena udah ninggalin aku dan gugurkan anak kita," lirihnya.
"Kalau aku tau kamu menderita, sejak awal aku udah bawa kamu pergi. Nggak akan kayak gini jadinya." Killian menunduk, menjadikan punggung tangan Lovata sebagai sandaran keningnya.
Jari-jari Lovata bergerak. Diikuti dengan kedua kelopak mata yang perlahan membuka. Killian pun berdiri, sedikit membungkuk di atas Lovata. "Lov," panggilnya.
"Kill ..." ucap Lovata dengan suara lemah, nyaris tidak terdengar.
"Iya, ini aku." Killian mengusap kening Lovata dengan lembut dan berusaha tersenyum.
"Aku di mana?" Lovata meringis, tidak bisa duduk karena rasa sakit di bagian perut.
"Udah, kamu tiduran aja." Killian menekan pundak Lovata agar tidak bergerak. "Kamu di rumah sakit sekarang."
"Altaf! Kill, dia berbahaya. Dia bisa bunuh kamu, aku ..."
"Hei, tenang. Semua udah aman. Dia udah dipenjara sekarang, dan aku jamin dia lama di sana. Kamu udah lepas dari dia sekarang."
Lovata menatap Killian sendu, air matanya menetes. Saat pria itu mengusapnya, dia malah makin terisak.
"Kamu kenapa nangis?" tanya Killian sembari terus mengusap air mata yang jatuh.
"Maafin aku yang nggak bisa jaga anak kita. Aku udah berusaha untuk mempertahankan, tapi ..." Lovata semakin terisak pilu.
"Kamu nggak perlu jelasin, aku udah tau semuanya. Mbok udah cerita ke aku." Killian mengusap pipi Lovata, "maaf karena udah salahin kamu. Aku udah nuduh kamu tanpa bukti, padahal kamu jauh lebih menderita kehilangan anak kita."
Tadi pagi, Mbok Wawa datang membesuk Lovata. Melihat Killian, dia langsung menumpahkan segala cerita yang selama ini tidak pria itu ketahui.
"Andai saat itu aku kabur bersama kamu, mungkin semuanya nggak akan kayak gini. Anak kita pasti masih di sini." Dengan tangan bergetar Lovata mengusap perutnya.
"Nggak apa-apa, itu udah bagian dari takdir. Terpenting sekarang, aku nggak akan pernah biarin siapapun menyakiti kamu lagi."
"Aku udah nggak pantes buat kamu, Kill. Kalaupun aku berpisah dari Altaf, status aku ..."
Killian menempelkan jari telunjuk ke bibir Lovata. Menggeleng. "Aku nggak peduli status kamu apa, itu nggak penting buat aku. Aku tetap ingin bersama kamu, karena sampai detik ini aku masih sangat mencintai kamu."
"Tapi, Kill ..."
"Aku mohon jangan menolak lagi. Kita udah terlalu banyak mengalah sama keadaan, kali ini ayo berjuang sama-sama." Killian memegang tangan Lovata dan memohon.
"Kita mulai segalanya dari awal, ya? Dengan cara yang lebih benar. Orang tua kamu udah nggak punya alasan untuk menolak aku."
"Kasih aku waktu menyelesaikan semuanya, terutama sama Altaf. Walau gimanapun kami masih sah dalam pernikahan."
Killian mengangguk. "Aku temani," ucapnya dengan tulus. "Aku nggak akan biarin kamu sendirian lagi," janjinya.
Lovata tersenyum.
"Kenapa kamu menatap aku kayak gitu?" tanya Killian bingung.
"Aku lagi mikir, ini beneran kamu atau cuma halusinasi aku. Karena selama ini, kamu nggak pernah nyata."
"Kamu mau bukti kalau aku bukan sekedar bayangan?"
"Caranya ..."
Killian mencium bibir Lovata. Lembut dan hangat. Iramanya tidak tergesa-gesa, menikmati dan mengikat.
Lovata memejamkan matanya. Air mata yang menetes kali ini adalah tanda betapa dia sangat bahagia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate (Tamat)
Любовные романыLovata kabur di hari pernikahannya. Di tengah pelarian, uangnya raib dicuri orang. Tidak cukup sial sampai di situ, Lovata pun harus kejar-kejaran dengan preman yang berniat jahat padanya. Di saat nyaris menyerahkan diri pada kesialan, tiba-tiba dat...