Bab 2. Petinju

14.6K 1.3K 38
                                    

Seumur hidup, ini pertama kalinya dalam hidup Lovata bisa membeli segala yang diperlukan dengan uang lima ratus ribu rupiah. Selusin dalaman, pakaian sehari-hari, bahkan perlengkapan mandi. Dia terlalu senang, sampai tidak menyadari sejak tadi Killian terus menatapnya.

"Uangnya masih sisa," kata Lovata sembari menyodorkannya pada Killian. Dia tersenyum bak bidadari.

Killian sempat terpana, tapi dengan cepat merubah ekspresinya menjadi datar kembali. "Simpen aja," suruhnya.

"Makasih." Tanpa rasa malu Lovata mengantongi uang itu di saku celana Killian yang kebesaran di tubuhnya.

Setelah Lovata selesai dengan segala kebutuhannya, kini mereka beralih membeli kebutuhan untuk memasak. Bagai Nyonya rumah, Lovata yang mengatur segalanya. Dia beli apa saja yang terlihat.

"Lo nggak berencana tinggal di tempat gue selamanya, kan?" sindir Killian begitu melihat tangannya sudah penuh dengan barang belanjaan wanita itu.

Lovata meringis. "Cuma sampai gue punya kerjaan dan bisa ganti uang lo, terus pindah ke tempat baru." Dia meyakinkan.

Killian hanya diam.

Akhirnya selesai sudah Lovata menghabiskan uang Killian. Dia terlihat sangat senang, berjalan riang di sepanjang jalan sambil mengayunkan tangan. "Gue belum tau nama Lo siapa, pekerjaan Lo apa, aneh nggak sih? Padahal Lo udah nolongin gue," cerocosnya.

Lagi-lagi Killian diam saja.

"Gue Lovata. Lo bisa panggil gue Lova, tapi jangan Vata. Biasanya sih orang-orang cuma panggil Lov, kayak nyebut love gitu."

"Vata lebih manusia dan masuk akal."

"Nggak mau," rengek Lovata.

"Kenapa?"

"Lebih keren Lova atau Lov, dong? Jadi kenapa harus Vata? Terlalu aneh penyebutannya."

"Ribet," cibir Killian.

"Nggak usah protes, terserah yang punya nama dong."

Killian tersenyum, tapi tanpa sepengetahuan Lovata.

"Terus nama Lo siapa?" tanya Lovata lagi.

Tidak ada sahutan.

"Eh, nak Killian, abis dari belanja, ya?" tanya seorang ibu-ibu. Secara tidak langsung menjawab pertanyaan Lovata.

"Hehehe, iya Bu." Killian menjawab ramah, terlihat canggung karena mungkin malu terlihat bersama wanita.

"Eh, ini si Neng cantik siapa? Baru lihat Ibu," tanya wanita paruh baya itu.

Killian menoleh pada Lovata, "Dia sepupu saya, Bu. Baru datang dari desa." Terpaksa dia berbohong, agar urusannya tidak panjang.

Lovata tidak bisa membantah, dia mengerti kenapa Killian menyebutnya sebagai sepupu. "Halo Bu, salam kenal saya Lovata," ucapnya kikuk.

"Salam kenal juga, Neng. Kita ini tetanggaan loh." Killian tinggal di sebuah rumah susun sederhana, tentu saja ada banyak tetangga di sana yang pastinya saling mengenal. "Ya sudah, Ibu mau ke pasar kalau begitu. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi."

"Iya, Bu." Lovata mengangguk ramah.

Killian hanya mengangguk.

Mereka pun melanjutkan jalan ke rumah susun lagi.

"Jadi, nama lo Killian. Kill dari kata membunuh?" tanya Lovata sambil menunjukkan kebanggaan bisa mengetahui nama Killian meski dari mulut orang lain.

Tidak ada sahutan.

"Gue panggil Lo Kill, atau Lian? Eh, Kill aja kali ya, lebih keren. Lian juga keren sih, tapi banyak yang pake nama itu. Kalau Kill, kan, jarang."

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang