Bab 10. Foto dan Video Pertama

16.6K 1.1K 32
                                    

Setelah puas mengelilingi jalanan dengan motor Killian, mereka pun pulang ke rumah susun. Lovata mengambil baskom kecil, handuk dan pecahan es batu. Mengajak Killian duduk di tepi dipan untuk mengompres lebam-lebam di tubuhnya.

"Buka hoodie kamu," suruh Lovata.

Killian menurut. Dia menarik hoodie hitam itu melewati kepala hingga perut berototnya terlihat. Melihat Lovata meringis karena banyaknya lebam di tubuhnya itu, dia pun tersenyum.

Lavina menempelkan handuk itu ke bagian memar, Killian tampak mengernyitkan wajah. Entah karena dingin atau sakit. "Emang dipukulin kayak gini nggak kerasa sakit?" tanya Lovata sembari mengisi handuk kecil dengan es batu.

"Sakit sih," jujur Killian.

"Terus kenapa kerja kayak gini? Emang nggak ada kerjaan yang lebih minim risiko? Kamu bisa jadi waiter di cafe, office boy atau mungkin ..."

"Hanya ini yang menghasilkan uang banyak dan cepat," potong Killian. "Aku butuh yang instan dan cukup."

"Tapi aku khawatir setiap kali lihat kamu pulang dengan kondisi kayak gini, Kill."

"Tenang aja, Lov. Tinju juga punya aturan, nggak asal main habisin nyawa orang. Malah itu larangan paling utama."

Lovata menghela napas. Dia menekan lebam di sisi lain dengan handuk yang sama. Kepalanya miring ke bawah untuk melihat bagian mana lagi yang perlu dikompres.

Killian tersenyum memandangi wajah Lovata. Wanita itu sangat perhatian. "Mungkin nggak sih saat ini Malaikat lagi tidur?" tanyanya.

Saat Lovata mengangkat wajah dan menyadari Killian sedang menatapnya, dia pun menjadi gugup dan kembali menunduk.

"Aneh aja, manusia kayak aku gini kok bisa dikasih bidadari secantik kamu. Semesta pasti nggak serius, kan?"

"Apaan sih." Lovata menekan lebih kuat handuk itu agar Killian merasa sakit, tapi nyatanya pria itu tidak merintih sedikit pun.

Tiba-tiba Lovata teringat sesuatu yang dibelinya saat menerima gaji dari event terakhirnya. Dia pun langsung berdiri dan berlari ke lemari pakaian. Mengeluarkan paper bag yang disimpannya di situ.

"Kill, aku beli sesuatu buat kita berdua," beritahunya sembari duduk di samping Killian.

"Apa?"

Lovata memberikan paper bag itu pada Killian. Tersenyum penuh arti. "Itu aku beli dari hasil gaji pertama aku," ujarnya lagi.

Killian mengeluarkan isi dari dalam paper bag itu. Ada dua box bergambar ponsel. "Ini buat apa?" tanyanya.

"Kamu nggak pernah lihat hape?" tanya Lovata setengah mengejek.

Killian menjitak kening Lovata. "Aku tau ini hape. Maksudnya buat apa beli dua? Kenapa nggak beli satu aja buat kamu?" tanyanya lagi.

"Ya, biar kita bisa selalu kasih kabar. Kadang aku penasaran kamu lagi apa, tapi nggak bisa nanya." Lovata mengambil satu kotak dan membukanya.

Killian juga mengeluarkan satunya lagi. Model kedua ponsel itu sama persis, hanya saja miliknya warna hitam dan Lovata putih.

"Kamu habisin semua gaji kamu buat beli ini?" tanya Killian begitu melihat harga ponsel dari nota pembelian.

"Nggak semuanya." Lovata malah tersenyum. "Tapi emang sekarang uang aku habis," cengirnya.

"Bodoh." Killian menjitak kening Lovata. "Bukannya ditabung buat keperluan kamu, malah dibeliin yang nggak berguna kayak gini."

"Ini berguna, Kill. Selama ini jam kerja kita selalu berbeda, ketemu paling malem doang dan itu pun kalau aku nggak ketiduran. Nah, kalau ada hape kita bisa teleponan atau video call, biar nggak kangen. Sampai sini paham?"

"Nanti aku ganti uangnya, ya?"

"Ihh, mana ada orang ngasih kado malah dibayar." Lovata merengut. "Kalau kamu nggak mau ya udah sini aku buang."

Killian menjauhkan ponsel itu saat Lovata hendak mengambilnya. "Oke. Makasih ya." Diciumnya pipi kiri wanita itu.

Lovata tersenyum lebar. "Itu udah ada nomornya, jadi bisa langsung dipake. Nomor kita sama, cuma beda satu angka di ujungnya doang. Jadi mudah diingat."

Keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing, mengotak-atiknya agar terbiasa. Lovata menyimpan nama Killian, hanya dengan Kill. Sementara Killian menyimpan nama Lovata dengan Love.

Ting!

Notifikasi ponsel Lovata berbunyi dan muncul nama Kill sebagai si pengirim chat.

Kill: Hai, boleh kenalan nggak?

Lovata tersenyum membacanya, dan langsung membalas.

Love: Emang kamu siapa?

Kill: Katanya sih nama Kill jauh lebih keren dibanding Lian. Jadi, kamu boleh panggil aku Kill.

Love: Berarti kamu pembunuh, dong?

Kill: Iya. I'll kill you with my heart.

Seketika Lovata terbahak-bahak. Dia menoleh Killian dengan tatap mencibir.

Setelah itu ponsel Lovata kembali berbunyi dan kali ini Killian melakukan panggilan video. Meski duduk bersebelahan, keduanya berpura-pura tidak saling mengenal.

"Kok nggak dibales sih?" tanya Killian sembari menatap wajah Lovata lewat layar ponsel.

"Habisnya si Abang tukang gombal doang." Lovata mengulum senyum.

"Enak aja. Itu serius."

"Apa buktinya?"

Killian tiba-tiba mencium pipi Lovata, sehingga video di layar ponsel mereka berdua jadi sama. Keduanya sama-sama tertawa dan mengakhiri kekonyolan.

"Eh, kita belum selfie. Foto pertama di hape kita isinya harus foto kita berdua," ujar Lovata sembari membuka aplikasi kamera.

Killian tidak menolak. Saat kamera mengarah pada mereka berdua, dia mendekatkan wajah hingga pipi mereka menempel. Lalu sama-sama tersenyum lebar.

Klik.

Satu jepretan pun berhasil diabadikan. Lovata melihat hasilnya dan tersenyum. Killian benar-benar tampan dalam foto itu.

"Kita juga harus punya video pertama yang isinya kita berdua." Killian membuka aplikasi video dan menaruh ponselnya di atas meja yang mengarah pada dipan. Diaturnya sedemikian rupa hingga semua sisi dipan terlihat.

"Kita mau ngapain?" tanya Lovata bingung.

Killian duduk di samping Lovata dan sama bingungnya. Sementara rekaman sudah berjalan. "Emm, kamu nyanyi deh," suruhnya.

"Ihh, nggak mau. Kamu aja yang nyanyi," suruh balik Lovata.

"Kalau kamu suruh aku tinju itu lebih masuk akal." Killian terkekeh geli.

"Terus ngapain dong?" Lovata salah tingkah sendiri. Dia membenahi rambutnya sejak tadi.

Killian tiba-tiba menarik dagu Lovata dan mendekatkan wajah. Bibir mereka menempel. Lovata yang awalnya kaget, matanya terbelalak tanpa membalas. Tapi lama kelamaan dia memejamkan mata dan membuka mulutnya.

Ciuman yang semula ringan itu menjadi lebih dalam ketika lidah Killian mulai membelit. Tangannya pun tak tinggal diam, merayapi pinggang Lovata hingga masuk ke dalam kaus wanita itu.

Napas Lovata memburu, tapi tidak berusaha mencegah ketika tangan Killian mengelus perutnya. Malah dia merangkul leher pria itu untuk mengizinkannya melakukan lebih.

Killian menarik ujung kaus itu ke atas. Ciuman mereka terlepas saat Lovata mengangkat kedua tangan agar kaus itu lolos dari tubuhnya. Begitu pun sebaliknya, Lovata membantu Killian melepas kausnya. Mereka kembali berciuman setelah itu. Tubuh mereka jatuh bertumpuk di atas dipan. Usapan di bagian tubuh Lovata adalah tanda penyaluran segala hasrat yang sedang Killian lampiaskan. Tak hanya pasrah, Lovata pun ikut mengusap perut berotot Killian yang sejak lama sangat ingin dia ukir dengan jari-jarinya itu.

***

Selamat hari Senin ...
Uncut version hanya Momi share di Karyakarsa ya, 5 bab only 5k.

❤️❤️

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang