Lovata rasanya malas bangun pagi ini. Sejak semalam kepalanya sakit dan mual tanpa disertai muntah. Selain itu, rasa lelah sangat mudah menyerang padahal tidak ada aktivitas berat. Perubahan fisik pun mulai dirasakannya, terutama pada payudara yang terasa lebih besar dan sakit bila dipegang.
Saat melihat kalender, baru Lovata sadari bulan ini dia belum mendapatkan menstruasinya. Dia pun bergegas memanggil Mbok Wawa untuk memastikan sesuatu.
"Kenapa, Non?"
Lovata lebih dulu mengunci pintu dan menarik Mbok Wawa ke dekat ranjang. "Mbok, aku udah telat dua minggu," beritahunya.
Wajah Mbok Wawa pun menjadi tegang. "Maksudnya, Non hamil?" tanyanya dengan suara bergetar.
Wajah Lovata menjadi pucat dan dia mulai menggigiti kukunya. Hubungannya dengan Killian saja masih belum direstui, dan kalau sekarang dia benar-benar hamil maka prahara besar akan segera menerjang.
"Ya ampun Non, si Mbok kan udah bilang hati-hati. Kenapa nggak pakai pengaman?"
Akhir-akhir ini Lovata dan Killian memang jadi sering berhubungan, lantaran dimudahkan akses oleh Mbok Wawa untuk bertemu. Pria itu nyaris setiap malam menginap, yang sudah pasti akan berakhir menuntaskan hawa nafsu mereka yang sulit terbendung.
"Mbok, aku harus gimana?" tanya Lovata begitu takut.
Mbok Wawa tidak bisa langsung memberikan saran, karena masih sama bingungnya. Sepertinya tensi darahnya langsung naik, membuat kepalanya sangat sakit.
Lovata kembali merasa mual, dia langsung ke kamar mandi dan akhirnya muntah juga. Barulah rasanya lebih lega, meski hanya sesaat. Mbok Wawa dengan sabar mengusap punggungnya, mengolesi minyak telon untuk mengurangi mual.
"Lovata, kenapa lama sekali kamu turun? Altaf udah lama nungguin." Tiba-tiba Tissa datang.
Lovata langsung membasuh wajah agar tidak ketahuan. Sementara Mbok Wawa yang memang jarang berbohong, langsung gelagapan dengan situasi semacam ini.
"Sedang apa Mbok di sini?" tanya Tissa curiga.
"I-ini Nyonya, manggil Non Lova untuk turun," bohong Mbok Wawa tanpa berani melihat wajah Tissa.
"Emang siapa yang suruh?" tanya Tissa tak percaya.
"Den Altaf." Sekali lagi Mbok Wawa berbohong, padahal belum ketemu Altaf sama sekali.
"Oh, ya udah." Tissa melirik Lovata yang masih di kamar mandi. "Kamu juga buruan dong, jangan bikin Altaf selalu lama nungguin kamu."
Lovata tidak menjawab sampai Maminya itu pergi. Dia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih pucat. "Mbok, aku boleh bawa hape Mbok hari ini?" mohonnya.
"Non mau ngapain? Jangan cari masalah dulu."
"Aku harus ketemu Killian, Mbok. Kalau iya aku hamil, ini anaknya. Aku butuh pendapat dia juga."
Mbok Wawa menghela napas, malu mengeluarkan hapenya. "Inget Non, jangan sampai ketahuan. Mbok nggak akan bisa bantu lagi," ujarnya mengingatkan.
Lovata mengangguk.
***
Hari ini, Lovata merasa ngidam pertamanya berupa Mie ayam di pinggir jalan. Saat tanpa sengaja mobil Altaf melintasinya, dengan cepat dia meminta berhenti.
"Kenapa, Beib?" tanya Altaf setelah menepi.
"Aku mau makan mie ayam dulu," jawab Lovata sembari melepas seat belt.
"Oh, ya udah kita cari restoran mie ayam yang enak."
"Di situ aja." Lovata menunjuk warung tenda yang begitu ramai dikunjungi lantaran ini jam makan siang.
"Duh Beib, ngapain di situ? Nggak bersih, nanti sakit perut. Lagian nggak mungkin enak. Mending kita cari di restoran aja, lebih bersih dan enak." Altaf yang tidak pernah makan di pinggir jalan pun menolak.
"Aku maunya di situ. Kalau kamu nggak mau, ya tunggu di mobil aja. Aku bisa makan sendirian kok." Lovata turun mengabaikan Altaf yang masih melarang.
"Pak, Mie ayam satu ya!" Lovata duduk di tempat yang cukup sepi. Rasanya surga sekali mencium aroma mie ayam ini, perutnya langsung merasa lapar.
Altaf nyatanya menyusul, duduk di sebelahnya dengan wajah kesal. "Ngapain sih makan di sini? Nggak level tau nggak?" omelnya. Beberapa orang langsung menatap jijik padanya.
"Ngapain turun kalau nggak suka? Kamu bisa tunggu aku di mobil." Lovata cuek.
Altaf mendengkus.
Saat mie ayamnya datang, Lovata langsung melahapnya dengan rakus. Dilihatnya, Altaf memasang ekspresi jijik lantaran tempat itu menurutnya tidak higienis.
"Aku tunggu di mobil, jangan lama ya?" Altaf akhirnya menyerah, tidak tahan dengan aroma tubuh orang-orang yang bercampur di sana.
Lovata malah makan dengan santai, menikmati setiap sentuhan kuah dan daging cincang di lidah. Kuahnya pun sangat enak, hingga tak ada yang dia tinggalkan di piring.
"Berapa, Pak?"
"Lima belas ribu, Neng." Murah dan enak.
Lovata mengeluarkan uang lima puluh ribuan, "Kembaliannya ambil aja Pak." Lalu pergi setelah si Bapak bilang terima kasih.
"Lama banget sih," gerutu Altaf sembari menjalankan mobil.
"Anter aku ke tempat spa," minta Lovata memperlakukan Altaf seperti sopir.
"Loh, bukannya kita mau fitting?" Altaf menoleh.
"Besok-besok aja deh. Aku lagi pengen massage hari ini." Lovata berakting menunjukkan kalau tubuhnya pegal semua.
"Nggak bisa. Pernikahan kita udah dekat, fitting ini penting." Altaf menolak.
"Kamu lebih pilih fitting atau nanti tubuh aku fit di pernikahan kita?" Pilihan yang Lovata berikan ini tentu setengah mengancam.
Wajah Altaf menjadi cerah, seakan baru saja diberi lampu hijau. "Oke, kamu boleh spa kalau gitu." Lalu menginjak gas dalam-dalam.
Lovata memiringkan senyum.
Sesampainya di tempat spa, Lovata sengaja memilih paket khusus pengantin untuk lebih meyakinkan Altaf. Durasi paket itu hingga lima jam lamanya. "Kamu mau nungguin lima jam di sini atau nanti jemput aku setelah selesai?" tanyanya.
"Aku jemput aja, ya. Kira-kira kamu selesai jam enam, kan?" Tentu saja Altaf mana mau menunggu selama lima jam. Satu jam saja dia sudah merasa bosan.
Lovata mengangguk.
Altaf tersenyum dan mencium kening Lovata. Lalu pergi keluar. Wanita itu langsung menghapus jejak ciuman Altaf yang menjijikkan.
Setelah memastikan Altaf pergi, Lovata pun membatalkan rencana spa. Meski begitu, dia tidak mengambil uang yang sudah dibayar Altaf, sehingga para pegawai spa itu bisa tutup mulut. Jumlahnya lumayan.
Dari dalam tempat spa, Lovata memesan taksi online. Dia minta sopir taksi berhenti di pintu samping, berjaga-jaga kalau saja Altaf masih di sana mengintai. Setelah menunggu beberapa menit, taksi datang dan Lovata pergi.
Sepanjang perjalanan, Lovata resah memikirkan bagaimana kalau dia benar hamil. Apa yang harus dikatakannya pada Candra dan Tissa, juga Altaf. Dia menggigiti kukunya, menoleh ke luar jendela dengan tatapan kosong.
"Pak, boleh mampir ke apotek sebentar?" tanya Lovata pada sang sopir.
"Di mana, Mbak?" tanya sopir itu ramah.
"Di mana aja, Pak, nanti kalau ketemu."
"Oh iya, Mbak."
Mobil pun menepi ketika melihat sebuah apotek kecil di pinggir jalan. Lovata langsung turun dan membeli alat test kehamilan. Dia bisa melihat tatapan sinis dari Ibu-ibu yang sedang menunggu obat di sampingnya.
"Mbak, boleh pinjam toilet?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate (Tamat)
RomanceLovata kabur di hari pernikahannya. Di tengah pelarian, uangnya raib dicuri orang. Tidak cukup sial sampai di situ, Lovata pun harus kejar-kejaran dengan preman yang berniat jahat padanya. Di saat nyaris menyerahkan diri pada kesialan, tiba-tiba dat...