Bab 11. All the First

17.8K 945 27
                                    

Selama berada di rumah susun ini, pagi Lovata tidak pernah setenang dulu. Suara gaduh di luar sana selalu sukses membangunkannya. Entah itu berasal dari omelan Mak Ipah pada kedua anaknya yang malas sekolah, atau pertengkaran suami istri setiap kali kekurangan uang belanja. Meski begitu, tidak ada yang lebih nyaman dibanding pelukan seorang Killian. Sehingga bangun kali ini, Lovata tidak bisa menahan bibirnya tersenyum.

Rasanya memang kurang masuk akal bila dilihat bagaimana awal pertemuan mereka, hingga sampai ke tahap ini. Lovata bahkan tidak mengenal Killian dengan baik, tapi sudah sejauh ini memberikan apa yang dia punya.

But love is crazy, right?

Meski tidak ada dalam rencana masa depan Lovata, nyatanya bisa bersama Killian adalah keinginan terbesarnya menggantikan segala rencana itu.

Lovata turun dari ranjang. Lalu memakai kaus yang lebih mudah digapai untuk menutupi tubuhnya dan ke dapur. Membuatkan Killian sarapan sudah menjadi rutinitas wajib di pagi hari, meskipun pria itu tidak pernah memintanya.

"Lov," panggil Killian.

"I'm here." Lovata membalikkan badan, tersenyum pada Killian yang tengah duduk mengumpulkan nyawa.

Killian turun dari ranjang. Mencari keberadaan kausnya, tapi hanya onggokan pakaian Lovata  yang terlihat di lantai. Ditolehnya ke dapur, dan ternyata sudah melekat di tubuh ramping Lovata. Dia pun hanya mengenakan celana dan mendekati wanita itu. Dipeluknya dari belakang.

"Kamu lebih suka omelet atau nasi goreng?" tanya Lovata.

"Lebih suka kamu." Killian menggigit telinga Lovata.

Lovata mendorong Killian dengan bokongnya. "Mandi sana," usirnya.

"Nggak mau mandi bareng?" tanya Killian sembari bersandar di meja makan.

Lovata membalikkan badan dan menekan pinggang. "Kamar mandi kamu bukan tipe yang bisa dipake buat mandi berdua," cibirnya.

Killian terkekeh. "Nanti aku beli bathub," candanya.

"Iya, dipasangnya di genteng biar sekalian muat tempatnya."

Tawa Killian pun semakin keras.

"Buruan sana mandi," usir Lovata lagi.

Killian kembali mendekat dan memeluk pinggang Lovata. Dagunya disandarkan ke pundak wanita itu. "Masih sakit nggak?" tanyanya.

Lovata menggeleng tersipu.

"Ya udah aku mandi." Hanya itu yang ingin Killian dengar, sebab dia sangat khawatir sejak tadi malam.

Lovata mengulum senyum.

Setelah selesai membuat menu sederhana, dia beralih membereskan tempat tidur. Saat menarik selimut hendak dilipat, terlihat bercak darah di seprei putih. Dia pun buru-buru melepas seprei itu untuk dicuci.

Meski mencoba untuk tidak mengingat apa yang terjadi semalam, nyatanya begitu banyak jejak yang mereka tinggalkan. Selain seprei ini, sepanjang leher dan dada Lovata pun dipenuhi bekas percintaan mereka.

"Mau diapain?" tanya Killian yang baru keluar dari kamar mandi. Dia mendekati Lovata yang tengah menggumpal seprei. "Mau diapain sepreinya?" ulangnya.

"Dicucilah." Lovata membawa gumpalan seprei itu ke kamar mandi, tapi belum juga sampai Killian sudah merebutnya.

"Biarin yang ini. Disimpen aja. Aku punya stok seprei ganti," kata Killian sembari membentang seprei itu di lantai untuk dilipat dengan rapi.

"Heh, itu ada darahnya." Lovata berjongkok menunjuk bercak merah di sebelah kenan.

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang