Bab 14. Melepas Rindu

13.8K 893 12
                                    

Selesai mencuci tangan, Lovata keluar dari kamar mandi. Namun tiba-tiba seorang pria berjaket dan mengenakan topi menarik tangan kanannya dengan cepat. Jantung Lovata rasanya ingin meledak, tapi anehnya dia tidak berteriak. Pria itu membawanya masuk ke pintu tangga darurat, mendorong tubuhnya ke dinding dan langsung mencium bibirnya. Sulit melihat wajahnya karena jarak yang begitu dekat, tapi rasanya sungguh tidak asing.

Perlakuan kurang ajar ini tentu saja Lovata tolak, apalagi dia tidak mengenal siapa pria yang tanpa izin menciumnya ini. Dia mencoba mendorongnya, berontak sekuat tenaga. Saat tanpa sengaja topi pria itu terlepas, ciuman berakhir dan mata Lovata semakin membeliak.

"Kill?" Lovata sangat senang. Dia langsung memeluk Killian dengan sangat erat, lalu melepaskan untuk menatapnya lagi.

"Sakit banget cakaran kamu." Killian mengusap lehernya yang lecet akibat kuku panjang Lovata.

"Ya, maaf. Aku pikir orang gila main culik sembarangan." Lovata meringis.

"Segitu nggak kenalnya kamu sama aku?" Satu alis Killian naik, menambah kadar ketampanannya makin maksimal.

Lovata mengerucutkan bibirnya. "Aku harus realistis sekarang, nggak mau menganggap sesuatu itu kamu. Tapi endingnya cuma halusinasi aku aja," ucapnya sedih.

Killian mengusap pipi Lovata. Dia pun sedih, tapi sulitnya menembus dinding yang ada di antara mereka. Terlalu tinggi, hingga sebanyak apapun tangga yang dia susun tidak pernah sampai pada wanita itu.

"Kamu kok bisa ada di sini? Jangan bilang cuma kebetulan, karena aku tau kamu bukan anak Mal." Lovata tanpa sadar menggenggam ujung jaket Killian, membuat pria itu semakin mendekat.

"Aku emang ngikutin kamu dari rumah," jujur Killian.

"Dari rumah aku? Kok bisa? Kamu tau dari mana? Aku nggak ..." Bibir Lovata berhenti bergerak saat jari Killian menempel di atasnya.

"Itu nggak penting sekarang, kita cuma punya waktu sedikit." Killian merengkuh wajah Lovata dan mencium bibirnya.

Lovata balas mengalungi leher Killian dan membalas sama rindu dan bergairah. Lidah mereka tidak tinggal diam, ikut merasakan nikmatnya sebuah pertemuan.

Killian lepas kendali, nyaris saja dia mengoyak dress Lovata untuk menuntaskan hasratnya, namun sadar di sini buka tempatnya. Dia melepaskan ciuman, membiarkan jarak tetap dekat dengan napas terengah-engah. "Kamu udah terlalu lama di sini, nanti dia curiga," ucapnya dengan berat hati.

"Aku nggak mau menikah sama dia. Aku nggak cinta sama dia." Lovata mengatakan ini agar Killian tidak salah paham.

"Aku tau." Killian tersenyum.

"Apa mungkin kita masih bisa ketemu lagi?" tanya Lovata sedih.

"Aku bakal usahain," janji Killian.

Air mata Lovata jatuh. "Kenapa jatuh cinta bisa sesakit ini sih, Kill?" isaknya.

"Karena kita berbeda," sahut Killian dengan suara serak. "Dinding yang ada di antara kita terlalu tinggi, tapi aku janji akan terus mendaki untuk sampai ke kamu."

Lovata mengangguk. "Tapi waktu kita nggak banyak, kurang dari tiga bulan lagi Papi mau nikahin aku sama Altaf," beritahunya.

Rahang Killian mengeras, tapi tetap berusaha tersenyum. "Kamu jangan khawatir, dan jangan lakukan hal bodoh apapun. Tunggu aku, oke?" mohonnya.

"Bawa aku pergi sekarang. Pergi yang jauh dari kota ini. Aku siap meninggalkan apapun."

Killian menggeleng. "Papi kamu pasti akan menemukan kita." Diusapnya bibir Lovata, lalu menciumnya kembali. Kali ini hanya berupa kecupan-kecupan ringan.

Roommate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang