30 • ENDING

792 91 24
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

        Sudah empat hari ia berbaring di sebuah brankar rumah sakit dengan Jimin yang menemaninya. Tidak hanya Jimin, namun ada setumpuk berkas juga di sana. Pria itu kukuh ingin menemani dirinya sambil bekerja. Padahal ia rasa jika dirinya sudah bisa pulang.

       "Sajang-nim, bisakah kita pulang hari ini saja?" Tanya Raisya.

       Jimin sendiri kini tengah mendudukkan dirinya di sebuah sofa empuk yang ada di ruangan perawatan yang Raisya tempati. Jimin menempatkan gadisnya di ruangan VIP dengan fasilitas yang cukup lengkap. Tentu saja harus lengkap, mereka tahu siapa dirinya. Tidak mungkin memberikan pelayanan kurang memuaskan.

        Jimin menoleh, menatap gadisnya yang tengah terduduk di atas brankarnya dengan rambut yang sedikit berantakan dan bibir pucat. Ia tidak tahu juga kenapa Raisya belum diperbolehkan pulang oleh dokter karena biasanya penyakit tifus tidak terlalu lama memerlukan perawatan intensif—itu yang Jimin tahu.

       "Tunggu dokter, aku tidak akan mengizinkan kau pulang jika dokter tidak mengizinkannya."

       Raisya menghembuskan napasnya lemah. Astaga. Ia benar-benar bosan di sini. Ia sudah tidak demam, hanya sedikit lemas yang menurutnya tidak akan menjadi masalah besar.

       Raisya menatap tangan kanannya yang di infus. Rasanya tidak nyaman, ada yang mengganjal dan terasa agak sakit jika ia banyak bergerak.

       Jimin yang melihat gadisnya mendadak diam dan menatap punggung tangannya yang terpasang selang infus kini ikut menghembuskan napasnya. Jimin juga ingin Raisya cepat pulang, menagih ciuman yang gadisnya janjikan dan juga ingin memeluk gadis itu, mendekapnya dan menjahilinya lagi. Ingin melihat Raisya berkeliaran di kantornya sambil mengomel. Mengajak ia makan siang sambil tersenyum atau sesekali menyuapinya. Jimin ingin melakukan hal yang biasa ia dan Raisya lakukan.

       Jimin menutup berkas yang sedang ia kerjakan. Meletakkan bolpoinnya di atas meja lantas bangkit dan berjalan mendekat ke arah gadisnya. Menarik kursi yang ada di samping brankar dan duduk disana. Menjadikan Raisya sebagai pusat perhatiannya membuat si gadis ikut menatap.

       "Apa?" Tanya Raisya.

       Jimin melemparkan sebuah senyuman hingga maniknya menyipit. Meraih kedua tangan Raisya dan menggenggamnya erat namun tetap hati-hati agar ia tidak membuat ulah pada tangan kanan gadisnya.

       "Sayangku ini pasti bosan, ingin pulang, ingin makan ramyeon, ingin ice cream dan ingin menciumku, bukan?" Tanya Jimin—ah tidak. Itu bukan pertanyaan. Itu sama seperti Jimin tengah menebak dengan benar apa yang Raisya inginkan.

       "Itu benar, tapi poin terakhir rasanya tidak benar. Aku tidak ingin menciummu, kenapa percaya diri sekali?"

       "Lho? Kau kan sudah berjanji akan menciummu jika kau sudah sembuh sebagai jawaban waktu itu," ucap Jimin lagi sambil mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali. Seperti minta di tarik biar semakin maju.

EQUANIMITY S2 ✴ PJM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang