Prologue : the Empress of Fire

2.4K 223 52
                                    

Langkah boot hitam yang terbuat dari kulit sapi terlihat ringkih saat membelah rerumputan kering di bawahnya, menyapa sunyi pada akhir musim gugur yang berangin. Hanfu hijau tosca yang dikenakannya turut bergoyang, setia mengikuti pergerakan si pemilik tangan tua yang menggenggam seikat bunga anggrek bulan favorit seseorang yang ia kenang.

Waktu menyorot tatapan matanya yang semakin sayu di usia senja. Beberapa kali ia berhenti untuk sekedar menghela napas karena sesak, mengingatkan dirinya sendiri, jika raganya tak lagi muda untuk menapaki perbukitan rindang tempat persemayaman damai.

Meski tua, dia tak mudah menyerah. Ia memberi usiran ringan pada kedua asisten yang berusaha membantunya mendaki di area tak begitu terjal pada lereng bukit. Sang perdana menteri berusia tujuh puluh tahun itu tersenyum ketika menemukan sebuah batu prasasti besar yang mulai terlihat.

Ia tertawa kecil, hanya sebentar, saat menemukan sosok lain yang juga tengah melirik sendu ke arah makam yang sama. Suara serak miliknya berdeham, membuat sosok itu menoleh, membalas tersenyum seraya mengendalikan raut wajahnya agar tampak tegar.

"Kau di sini, perdana menteri?"

Agak sulit mengimbangi napasnya ketika ia mencoba lebih cepat mendekat, si perdana menteri membungkuk. "Yang mulia.."

"..."

"Hamba memang selalu kemari, sejak beliau pergi." sarat sekali kesedihan ketika ia mengatakannya. "Anda sendiri? Ikut memperingati hari kematiannya kah?"

Lelaki tampan gagah berusia dua puluh lima tahun itu menggeleng. "Bagiku ibu tidak pernah mati," dia kembali melihat batu giok penghormatan yang tertanam kokoh di depannya. "Aku selalu kemari saat butuh petunjuk atau saat merindukannya."

"Yang mulia.."

"Ibu.. mencintaiku kan, paman Jimin?"

.

.

.

"Hati-hati, tanahnya semakin basah mendekati musim dingin. Kau bisa terpeleset." Peringatnya.

Namun yang mendapat peringatan tersebut hanya terkekeh, membenarkan bahwa kondisinya tak lagi bisa begitu stabil untuk bertahan dan mengandalkan kedua kakinya. "Anda tumbuh menjadi kaisar yang hebat, dan juga penuh kasih sayang, yang mulia."

Pria yang disebutnya kaisar itu tersenyum kecil. "Dari siapa aku mewarisi sifat ini?"

Perdana menteri Jimin terdiam.

"Sepertinya ibuku." Sang Kaisar menghela napas. "Lalu wajahku, kudapat dari ayahku. Iya kan?"

"Anda baik-baik saja, yang mulia?"

Kaisar mengangguk. "Aku hanya perlu sedikit ruang untuk bernapas sesaat, perang dengan Kogo semakin dekat dan aku ingin memenangkannya!"

Langkah perdana menteri Jimin benar-benar terhenti. "Yang mulia, kita sudah pernah membicarakan ini.. Kogo adalah tanah kelahiran ibunda anda, dan-"

"Aku tahu, maka dari itu aku ingin merebutnya dari kekuasaan Jeonsan. Dia mendapatkan segala yang ibu punya, aku juga adalah anak dari ibuku. Aku berhak atas tanah itu!" Jelasnya memburu.

"Tapi Kaisar Jeonsan adalah kakak anda-"

"Dia bukan kakakku!" Bantahnya cepat, "Dia hanya kesalahan..." nada bicaranya memelan di akhir, seolah tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

Kedua tangan Jimin terangkat, memegang pundak pemuda jangkung yang terlihat bimbang itu kuat. "Ibumu tidak akan bahagia.."

"Akan kulakukan apapun untuk mengembalikan semua kenangan ibuku!"

The Empress of Fire (TaeLiceKook) [Completed] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang