🐈‍⬛4. Airlangga = Kesialan Sekar🐈‍⬛

1.4K 250 24
                                    

Sekar membuka matanya lebar. Napasnya masih terengah dengan dada kembang kempis. Cahaya yang menyilaukan membuat pupil mengecil dan netranya menyipit. Suasana kelam yang ia alami beberapa waktu lalu terasa sangat nyata. Bahkan Sekar masih bisa mencecap sensasi kuduk yang meremang dan peluh yang merembes akibat didera kengerian.

Lubang hitam itu menghisap dirinya. Ia yakin ia sudah mati. Namun, kenapa ia masih bisa melihat cahaya?

Sekar memegang dadanya, merasakan degup jantung yang masih berderap layaknya langkah kuda yang berpacu cepat. Kinerja jantung masih teraba, itu artinya Sekar masih hidup. Ia mengangkat tangan, meletakkan telunjuk ke depan hidung. Sekar memejamkan mata, merasakan embusan udara dari ujung hidung mancungnya.

Aku masih hidup? batin Sekar tak mempercayai yang terjadi. Jantungnya masih bekerja memompa darah dan paru-parunya masih mengembang seiring oksigen yang masuk ke dalamnya. Semua kinerja tubuhnya berjalan normal, dan Sekar juga tidak hilang ingatan.

Memutar kembali kenangannya, ia yakin tumbukan mobil di bahu jembatan Sungai Kalimas yang membuat badan mobil terbang dan mendarat di dasar sungai itu benar terjadi. Sekar merasa itu bukan mimpi apalagi halusinasi. Namun, kenapa ia tiba-tiba bangun dan masih bernapas.

Sekar mengangkat kedua tangannya, memindai kulit yang tak bercatat. Mata berbulu lentik itu mengerjap berulang, mendapati dirinya memang baik-baik saja. Saat ia menggulirkan pandangan ke kanan dan ke kiri, Sekar merasakan ada yang aneh. Kain mengkilap keemasan itu melambai tertiup angin, menyelubungi ranjang.

Sekar memejamkan mata lagi, siapa tahu itu bagian dari mimpi. Namun, ketika ia baru beberapa detik memejamkan mata, suara yang tak dikenalnya terdengar. "Baginda Putri, bangun. Sudah pagi."

Sekar membuka netranya, dan pemandangan pun masih sama dengan sebelumnya. Kain kuning emas yang berkibar perlahan. Ia menoleh ke kanan. Alisnya mengernyit. Seorang wanita bertubuh subur dengan kemben hijau yang tak pernah ia lihat sebelumnya, berada di sisi ranjangnya.

Wanita gemuk itu menatapnya dengan cemas. Tarikan bibir di wajah perempuan asing itu, membuat pipinya menggelembung. Deretan gigi putih yang rapi kontras dengan kulitnya yang gelap.

Sekar masih berusaha meraup kesadarannya. Ia mengedarkan pandang ke sisi yang lain. Aroma rempah khas wewangian Jawa terhirup oleh indra penciumannya. Bau itu sangat asing di hidungnya, seolah dia sedang berada di tempat spa. Matanya juga menangkap perabotan asing dari kayu ukiran yang terlihat antik dan mahal. Barang seperti itu tak ada di rumahnya apalagi di kamarnya.

Sekar berusaha menegakkan tubuh, dibantu perempuan subur yang masih menunjukkan ekspresi kalut. Ia memijit pelipis dengan ibu jari dan jari tengah. Kepalanya terasa berkedut karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata.

"Aku di mana?"

Kain selimut yang melorot menguak tubuh Sekar. Sekar menggigil saat angin membelai kulit. Ia menunduk dan seketika matanya membelalak. Sebuah kain membebat dadanya. Bahu berkulit eksotis itu terkuak. Sewaktu bertemu Angga, ia memang mengenakan dress model sabrina. Namun, kenapa sekarang hanya kemben berwarna merah?

"Aku di mana? Mbak siapa?" Sekar tampak bingung. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.

Mata perempuan itu memerah dan berkaca-kaca. Suara tangis melengking menguasai kamar, membuat telinga Sekar berdenging. "Ampun, Baginda. Hamba bersalah. Hamba layak mati! Karena tidak memperhatikan Baginda Putri. Bagaimana bisa Baginda lolos dari pengawasan hamba sehingga tercebur di danau keraton."

Sekar menelengkan kepala. Dahinya berkerut memahami keadaan. Ia memandang berkeliling. Dinding bata merah yang tersusun rapi itu jelas bukan rumahnya.

"Siapa kamu?"

A Whole New World (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang