🐈‍⬛18. Rayuan Narottama🐈‍⬛

838 192 49
                                    

Angga mendapati tanda persetujuan Sekar. Seketika senyuman miring tergambar di wajah tirus. Dengan mata berbinar, ia mendekatkan wajahnya. Bibirnya mengerucut maju ingin mendarat di bibir Sekar yang sangat ia idamkan.

Namun, tiba-tiba hidungnya gatal. Ia menahan bersin. Kapan lagi ada kesempatan emas seperti ini?

Angga mengerutkan batang hidung mancungnya. Entah kenapa lubang hidungnya seperti ada yang menggelitik. Lelaki itu menahan napas untuk menepis gatal. Namun, dalam jarak tiga jari dengan wajah Sekae, desakan rasa gatal membuatnya bersin.

"Hatchii!"

Mata Sekar membeliak. Ingus bening menyembur di wajahnya.

"Aarggghh, Mas!" Sekar mendorong Angga dengan mata melotot.

Angga masih saja bersin-bersin. Suaranya sangat keras memenuhi senthong berlomba dengan suara kucing hitam yang tiba-tiba masuk ke dalam.

Kucing yang mengeong itu membuat Sekar terkesiap. Ia menegakkan badan tak mengindahkan Angga yang bersin-bersin.

"Pus, pus, kamu kok bisa masuk di sini? Kamu kucing hutan?"

"Sek ... hatching! Kar! Jangan bawa kesini!"

Namun, Sekar nekat menggendong kucing itu bahkan membawa ke atas tikar.

Angga merutuk. Bisa-bisanya kucing itu mengganggu kesempatan emasnya. Dengan wajah kusut, ia menarik tubuh kucing berbulu hitam mengkilat itu dan memegang di lehernya. Segara ia bangkit dan keluar dari bilik, menatap tajam para patih yang bercanda dengan dayang-dayang dan Cempluk.

Dengan bersungut-sungut, ia membuang begitu saja kucing hitam itu lalu meneriakinya. "Hush, pergi! Dasar bikin sial! Awas kalau kelihatan tak cincang jadi rica-rica kamu!"

Kucing hitam itu memelesat bersatu dengan kegelapan malam.

"Kanda! Jahat sekali memperlakukan kucing itu! Kasihan! Dia nggak salah apa-apa!" Suara Sekar meninggi sambil menarik Angga ke dalam bilik mereka. Bagaimana pun Sekar tidak ingin terlihat berdebat di depan bawahannya.

"Biar! Kita sial gara-gara kucing! Kali ini aku sial tidak bisa enaena gara-gara kucing sial itu! Wedhus tenan kucinge! Jangkrik, as*!" Umpatan demi umpatan kembali menguar.

Sekar mencubit perut Angga yang berotot untuk menyadarkan lelaki itu agar menjaga bicaranya. Bagaimana bisa seorang pangeran ahli mengumpat.

Angga merintih sambil menepis tangan Sekar. Ia memindai raut memberengut dengan mata yang melayangkan pandangan judes dan kedua tangannya menyilang di dada.

"Aku alergi kucing, Kar! Lagian karena kucing kita jadi seperti ini! Tambah anti aku! Mana ganggu pas timingnya tepat pula!" Angga lantas duduk bersila dengan kasar di atas tikar.

"Dasar! Apa yang Mas lakuin itu jahat tahu!" sergah Sekar.

"Sekar, lanjut lagi yuk! Katamu mungkin bisa jadi kita bisa pulang." Angga kini menarik sudut bibir hingga gigi geraham kecilnya terlihat. Kedua alisnya naik turun, yang membuat wajahnya tampak menyebalkan di mata Sekar.

"Ish, mesum banget sih!" Sekar ikut duduk di atas tikar dengan bibir manyun.

"Wajarlah! Kalau nggak mesum, nggak bisa memuaskan istri kecilku."

Belum selesai menutup mulut, telapak tangan Sekar kini mendarat di pipi dan mendorong kepala Angga. Buru-buru Sekar menjauhkan badannya lalu menarik kedua kakinya, tertekuk ke arah dada.

"Mas Angga pikirannya kotor banget sih! Aku tadi cuma bingung, saking pengin pulang karena kangen Papa."

Air mata Sekar leleh di pipi. Ia menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan ekspresi kedukaannya.

A Whole New World (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang