Sekar melongo, menatap jurang yang ada di depannya. Di bawah ada sungai yang beraliran tenang. Di tebing-tebingnya tumbuh tumbuhan paku yang daunnya lembab.
Sekar bergidik. Ia mundur selangkah hingga merontokkan kerikil-kerikil di ujung tebing. Rona di wajahnya menguap. Gadis itu menggelengkan kepala, menatap Angga dengan ngeri.
"Nggak! Gila apa? Itu namanya bunuh diri! Gimana kalau kita justru mati? Bukannya kembali ke masa depan tapi justru kita terjebak di keabadian!" sergah Sekar.
"Hanya ini caranya!" balas Angga tak kalah ngotot. "Coba kamu ingat, dulu kita tersedot black hole sewaktu tercebur sungai Kali Mas kan?"
"Iya! Tapi ... tapi nggak kaya gini juga kali, Mas." Mata Sekar kini berkaca-kaca. Ia berpikir sepertinya Angga sudah depresi saking putus asanya tidak memperoleh jalan keluar.
"Coba saja. Bukankah kamu ingin bertemu papamu? Siapa tahu ... siapa tahu kita bisa pulang." Angga menatap sendu pada Sekar.
Sekar bergeming. Matanya sudah melelehkan bulir bening.
Angga menatap Sekar lalu meraih pergelangan tangannya.
"Kar, percaya sama aku. Ehm?" ujar Angga menatap sendu pada Sekar.
Sekar hanya membisu. Bagaimana bisa percaya pada lelaki di depannya ini? Namun, Sekar juga merasa tidak ada jalan lagi. Mereka tersesat ke masa lalu tanpa melalui sebuah mesin seperti di film. Mereka tak tahu jalan pulang.
Sekar akhirnya mengangguk. Ia mengikuti saja arahan Angga. Merasakan tarikan di tangannya, gadis itu mengikuti arahan Angga. Toh, bagi Sekar sama saja. Berada di masa lalu sama artinya dengan berada dunia lain.
Jantung Sekar berdetak kencang. Peluh tipisnya merembes. Mungkin ini kali terakhir Sekar bisa merasakan tanda vitalnya. Jantung yang berdetak memompa darah, udara yang memenuhi paru-paru, serta embusan bayu yang menyapu wajah dan mempermainkan anak rambut.
***
Sementara itu Angga tak kalah tegangnya. Ia seperti dokter yang menghadapi kasus berat dan tidak tahu berapa persen keberhasilannya. Ia juga bagai seorang pasien kritis yang sedang meniti jembatan di mana batas hidup dan mati sama tipisnya dengan sehelai rambut.
Rahang Angga merapat ketat. Ia mempererat genggaman tangan yang dingin dan basah oleh keringat ketegangan di pergelangan tangan Sekar. Namun, Angga masih sempat memindai wajah Sekar yang terlihat manis diterpa cahaya matahari siang itu. Paras itu selalu bisa mendetakkan jantungnya beberapa kali lebih cepat bila bersama.
"Sekar," panggil Angga dengan suara parau.
Gadis itu menoleh dengan senyuman manis. "Maaf, bila aku membuat kamu sial."
Jakun Angga naik turun. Kini dadanya berdegup kencang hingga terasa sesak. Ia menghela napas untuk meraup udara masuk saluran napasnya.
"Sekar, kita akan berjumpa di masa depan." Angga meraih tangan kanan Sekar yang bebas sehingga mereka saling berhadapan. "Bila ternyata kita nggak berhasil dan kemungkinan akan mati, ketahuilah kalau aku ... kalau aku ...."
Tenggorokan Angga tercekik. Ia membasahi bibir dengan lidahnya untuk meloloskan kata-kata. "Ehm, Sekar ... aku ... aku ... sebenarnya sayang kamu."
Sesudah berkata demikian Angga mengecup bibir Sekar yang menganga. Lalu lelaki itu menarik lengan Sekar yang otaknya masih mencerna perkataan Angga untuk terjun ke jurang.
Detik berikutnya dua insan itu melayang di udara. Mata Angga menatap Sekar seolah tak menyesal dengan keputusannya. Rambut mereka berkibar tertiup angin ketika tubuh mereka terhempas tertarik oleh gravitasi bumi. Angga memejamkan mata menanti keajaiban terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Whole New World (Completed)
Fiksi Sejarah~Daftar Pendek Wattys 2021~ Sekar, guru sejarah yang tomboy, menolak perjodohan dengan Angga, seorang residen Anestesi, yang selalu menjadi kakak kelasnya dari TK-SMA. "Walau cowok di dunia ini tinggal Mas Angga, Sekar nggak akan memilih dia jadi su...