Seketika Angga tersentak. Matanya terbuka lebar tapi pandangannya masih mengabur. Suara riuh alat pendeteksi tanda vital menabuh gendang telinganya. Sementara itu, bau obat-obat dan antiseptik khas rumah sakit menyusup samar di penciuman.
"Angga, Angga! Kamu selamat!" Suara berat itu kini masuk ke liang pendengarannya.
Angga mengerjap sekali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke korneanya. Perlahan-lahan kabut tersingkap dari penglihatannya dan ia menangkap bayangan beberapa orang yang mengitarinya.
"Syukurlah, kamu selamat! Jantungmu tiba-tiba terhenti. Kami sudah sangat panik." Yudhis, residen Anestesi senior mengelap keringatnya walau AC di ruang itu berembus kencang.
Walau ingin bicara, Angga tidak bisa. Selang yang terpasang di mulutnya menghambat untuk menggetarkan lidah. Ia hanya menatap kosong langit-langit sambil berusaha mengingat apa yang terjadi.
Namun, sekuat tenaga ia memutar otak yang mengalami kontusio serebri, tetap saja ia tak mampu mengingat apapun. Akhirnya ia pun memilih kembali memejam karena merasakan kelopak matanya sangat berat.
Setelah observasi pasca siuman dari koma selama tiga hari, Angga dipindahkan ke ruang rawat inap. Tentu saja keluarga Udayana menyambut senang karena akhirnya anaknya bisa siuman.
"Mi, aku di mana? Kenapa di sini?" Pertanyaan itu yang pertama kali terlontar kala Angga terjaga.
Mahira, Mami Angga, sedari tadi enggan berpisah dari putra keduanya, tersentak dengan mata memerah. Raut kuyunya tergambar di wajah sang Mami. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Tiga hari lalu kamu kecelakaan saat mengantar Sekar pulang."
"Sekar?" Alis Angga mengernyit.
Mahira menoleh ke arah Yana yang kini sudah berdiri di sebelah istrinya. Betul dugaan dokter, walau memar pada otaknya tidak terlalu parah sehingga tidak memerlukan tindakan pembedahan, ada kemungkinan ia mengalami amnesia sebagian atau total.
"Sekar anak Om Dharma. Kamu lupa?" tanya Yana dengan alis terangkat.
Angga berusaha mengingat-ingat. Namun, saat ia menyebutkan nama Sekar saja, hatinya seperti diiris sembilu. Ada kesedihan luar biasa yang menusuk kalbu, seolah kebahagiaannya telah disedot habis oleh Dementor dalam novel fantasi Harry Potter.
Angga meringis. Tangan kanan mencengkeram dadanya, sedang tangan kirinya memegang kepalanya. Ia masih ingat siapa nama orang tua dan dua saudaranya, dan pengalaman setelah pindah ke Surabaya untuk kuliah Kedokteran. Hanya saja, kenangan masa kecilnya sama sekali terhapus dalam kepalanya. Tapi, anehnya ia melupakan semua kejadian pada hari kecelakaan.
Sekar, siapa Sekar? Setiap aku mengingatnya, hatiku terasa sakit seperti dicabik-cabik. Angga mendesah panjang.
***
Di dunia masa lalu, Sekar tergolek lemah. Narotama panik dan membawanya ke Lemah Citra setelah mengembalikan jiwa Airlangga ke raganya. Lelaki itu menyesal karena telah menggunakan ilmu yang cukup tinggi dan akhirnya mengenai raga gadis yang ia cintai.
Dengan membopong Sekar, Narotama berlari dan terbang secepat mungkin. Tapi beban dan kepanikan membuat ilmu meringankan tubuhnya tak bisa bekerja maksimal. Baru beberapa kilometer, Narotama sudah kehabisan napas karena pikirannya bercabang. Ia tidak ingin jiwa Sekar menghilang begitu saja.
Mata Narotama berkaca-kaca. Peluh membanjiri wajah. Berulang kali ia menoleh ke arah Sekar yang merintih dan mengerang.
Perjalanan terasa jauh bagai menuju ke ujung dunia. Walau kaki melangkah cepat, tapi dia merasa tak tiba juga, seolah dia hanya berlari di tempat.
"Sekar, kumohon! Bertahanlah! Aku janji akan mengembalikanmu ke masa depan." Napas Narotama satu-satu. Dadanya semakin sesak karena menahan tangis sambil berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Whole New World (Completed)
Historical Fiction~Daftar Pendek Wattys 2021~ Sekar, guru sejarah yang tomboy, menolak perjodohan dengan Angga, seorang residen Anestesi, yang selalu menjadi kakak kelasnya dari TK-SMA. "Walau cowok di dunia ini tinggal Mas Angga, Sekar nggak akan memilih dia jadi su...