🐈‍⬛13. Mendaki Gunung, Lewati Lembah🐈‍⬛

971 209 43
                                    

Hai, ngga kerasa 1 Mei besok aku udah dua taon nyemplung di dunia orange. Makasih buat temen-temen yang selalu nyimak ceritaku. Semoga tulisanku ke depannya bisa lebih baik.

***Happy reading***

Sekar mengernyit saat mendengar pertanyaan Angga yang aneh. Dalam rangka apa Angga bertanya soal hatinya? Memang dengan pernikahan kemarin, lelaki itu bisa sok mengatur hidupnya? Pikiran itu berkelebatan di otak Sekar.

“Mas, pertanyaanmu ini sungguh aneh? Aku masih gadis normal! Gadis mana yang tidak terpesona dengan lelaki dewasa yang bijak, tampan, kuat, dan sakti seperti Narottama? Wah, aku nggak nyangka Narottama ternyata seganteng itu.” 

Angga mencibir. Hatinya tercubit. Dadanya terasa panas saat mendengar jawaban Sekar. Ia melirik gadis yang sedang memandang punggung tegap Narottama. 

Angga merutuk. Kenapa juga dia masuk di jiwa Airlangga yang usianya remaja. Pasti saja ototnya tidak sesempurna Narottama yang lebih dewasa. Namun, Angga tetap merasa bila dibandingkan dengan Narottama, ia tidak kalah rupawan.

Angga berusaha menyingkirkan perasaan tak nyamannya. Perjalanan yang semakin terjal dan mendaki, membuatnya harus berkonsentrasi mengendalikan kuda. Terlebih hari sudah semakin larut. Udara pun semakin dingin menggigit kulit. Suasana yang awalnya remang-remang kini perlahan menjadi gelap.

Semua rombongan terdiam. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara. Awalnya hanya langkah kaki kuda yang menggaung di kesunyian belantara. Namun, kini bunyi jangkrik dan tonggeret semakin nyaring berlomba memeriahkan malam yang akan tiba.

Dada Sekar terasa sesak. Bayangan lubang hitam yang menghisapnya masuk ke masa lalu itu membuat gadis itu merinding. Peluh dingin menetes saat netranya melihat kegelapan tanpa ujung pangkal di depannya. Seperti hidupnya sekarang yang tak tahu kapan bisa kembali ke masa depan.

Narottama mengangkat tangan kanannya untuk memberi tanda yang lain berhenti. Ia menarik tali kekang kuda bagian kiri, hingga kuda jantan yang dikendarai, memutar badan ke kiri. Kini, pemuda gagah itu menghadap ke rombongan yang ada di belakangnya.

“Gendon! Tomblok!” Panggilan nyaring Narottama membuat burung-burung yang baru saja hinggap untuk mengistirahatkan sayap beterbangan.

Yang dipanggil pun memacu kudanya ke depan untuk menghadap Mpu yang mereka segani. 

“Gendon dan Tomblok menghadap, Mpu," kata kedua abdi setia Airlangga itu.

“Sebelum hari semakin gelap, nyalakan obor kalian! Malam ini kita tetap berjalan hingga menembus hutan! Terlalu berbahaya bila kita bermalam di sini.” Suara Narottama terdengar berwibawa.

Gendon dan Tomblok langsung melaksanakan titah Narottama. Mereka turun dari kuda. Sementara Gendon mengambil batang obor yang mereka ikat dan digantung di pelana, Tomblok segera membuat api dari gesekan batu api setelah mengambil rumput paling kering yang bisa ia temui di sekitar mereka.

Tak berapa lama kemudian, suasana yang remang berganti terang dari nyala obor. Lidah api yang bergerak diembus oleh angin, membuat bayangan orang-orang yang ada di situ menari-nari. Setidaknya Sekar bisa sedikit bernapas lega, karena pandangannya kini tidak dikuasai kegelapan.

Mereka pun melanjutkan perjalanan setelah Gendon dan Tomblok memberikan obor kepada Narottama, Cempluk, dan dua dayang yang ada di belakang. 

Suasana kembali sunyi. Hanya sesekali burung hantu bernyanyi menyemarakkan malam kelam. Namun, telinga Angga menangkap deru napas Sekar yang memburu. Matanya samar-samar melihat bahu yang naik turun dengan kepala menunduk.

"Sekar, kamu kenapa?" tanya Angga dengan kernyitan alis. Suaranya berdesis saat berbicara.

Sekar melipat bibir, enggan bicara. Dengan gelengan kepala pelan, gadis itu menjawab Angga.

A Whole New World (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang